Skip to main content

Terdampar di Warung Ijo Cikini

Warung Ijo tampak depan

Saya sependapat kalau ada yang bilang Cikini adalah surga kuliner legendarisnya Jakarta. Bagaimana tidak ada banyak cafe dan restoran legendaris tersebar di kawasan ini. Sebut saja soto H. Ma’ruf yang sudah ada sejak tahun 1940, ada juga gado-gado Bonbin yang sudah ada sejak 1960 hingga tempat ngopi nyentrik Bakoel Koffie dengan bangunan era 1920-an. 

Bisa dibilang Cikini tak jauh-jauh dari surga kulinernya Jakarta. Sayangnya, fakta itu tak memudahkan saya ketika hendak mencari tempat makan. 

Ceritanya saya tengah bertemu dengan seorang kawan lama di salah satu hotel di daerah Cikini. Bosan ngobrol ngalur ngidul di kamar hotel akhirnya kami memutuskan untuk makan siang di sekitaran hotel.

Berbekal Google Map, beberapa lembar rupiah dan kepercayaan diri kami pun mulai menelusuri jalanan Teuku Cik Ditiro. Rupanya hotel kawan saya ini berada persis di sebelah rel kereta api. Bisa dibilang pula sedikit menjorok ke dalam. Entah bagaimana seorang warga Semarang bisa menemukan hotel tersembunyi seperti itu kalau bukan ulah Mbah Google. Tapi ya sudahlah toh kawan saya sudah terlanjur menginap di hotel itu.

Kami berjalan kurang lebih 700 meteran untuk menuju ke titik lokasi pertama sebuah cafe kopi dengan harga affordable (lagi-lagi itu kata Google). Saya sempat khawatir kawan saya ini tidak kuat jalan jauh. Bagi saya jalan 1-2 km itu normal dan wajar tapi tidak semua orang seperti saya, kan?

Dia bilang saya tidak perlu khawatir, anggap saja sedang berjalan di jalanan Bali -yang super panas, hahaha. Setelah sampai ke tujuan rupanya kami kebablasan tapi ketika kami mundur, Google bilang belum sampai ke titik lokasi. Kami pun bingung karena ada plang tapi tempatnya tidak terlihat (lhoh?!).

Rupanya cafe yang ingin kami tuju ada di sebuah gedung. Begitu kami mau masuk, saya melihat suasananya, sekilas melirik daftar menunya, timbul sebuah keraguan.

“Bagaimana kalau kita cari tempat makan lain yang lebih mengenyangkan?” ujar saya. Kawan saya pun langsung mengiyakan.

Lalu kami lanjut berjalan kembali dan lumayan lama, sekitar 500 meteran. Berbekal rasa lapar dan lagi-lagi Mbah Google kami menemukan nama Warung Ijo. Kata kawan saya tempat itu pernah ia lihat di beranda sosial medianya. Viral juga. Akhirnya kami memutuskan untuk mampir ke sana.

Warung ijo berada dalam satu gedung pujasera. Ada beberapa cafe (yang terlihat kekinian). 

Warung Ijo sendiri terletak di lantai 2. Tempatnya tidak besar tapi cukup kekinian. Tempat pesan makanan ada di jalan masuk melalui sebuah jendela. Ada kesan vintage pada desainnya. 

Sekaleng kerupuk dan 2 kerat botol minuman bermerek Badak di taruh di depan tempat pemesanan. Sepertinya bukan sekadar pajangan. Bodohnya saya karena tidak mencoba si Badak itu. Belakangan saya baru tahu bahwa itu minuman soda legendaris asal Pematang Siantar. 

Ya, sepertinya Warung Ijo dipenuhi menu-menu dari berbagai daerah di nusantara. Beberapa menu berat datang dari daerah Sulawesi, contohnya Sop Saudara, Bandeng Bakar, Bakso Nyuknyang, Sop Buntut. Ada juga menu camilan seperti Kue Apem, Samosa Ayam, Gabin tape, Jalangkote, Gogos, hingga Matao with Selai Kaya. Selain itu ada juga dessert serta aneka minuman yang cukup bervariasi.

Kawan saya menjelaskan asal daerah  masing-masing dari setiap makanan di menu (yang kebanyakan dari Sulawesi). Pekerjaan yang mengharuskannya berkeliling Indonesia membuat khazanah makananan yang ia ketahui cukup luas. Ia juga merekomendasikan beberapa makanan untuk saya coba.

Akhirnya kami memesan Bandeng Bakar, Sop Saudara, Gabin Tape, Samosa Ayam, Buras dan 2 es teh manis. Sayangnya saya tidak bisa mencoba Gogos karena stoknya kosong.

Suasana di Warung Ijo


Ada beberapa pilihan tempat duduk yang bisa kami pilih, di dalam ruangan atau di luar ruangan dengan menghadap ke tanah lapang. Kami memilih di dalam ruangan karena mau ngadem. Berjalan di bawah terik matahari  membuat kami sedikit manja.  

Area di dalam ruangan tidak begitu besar hanya ada 4 buah meja dengan kata lain hanya untuk 4 kelompok pengunjung. Ada beberapa gambar -yang terlihat seperti orang dari daerah timur. Entah gambar siapa itu. Bisa jadi pemilik Warung Ijo atau tokoh berpengaruh dari daerah Timur. Saya enggan menanyakannya.

Area makan bagian dalam 

Jam makan siang membuat tempat ini ramai dan penuh pengunjung. Pramusaji terlihat sedikit kewalahan. Bahkan es teh kami datang paling belakangan dibanding menu yang lain. 

Duh, rasanya ingin memaklumi kondisi itu tapi kok ya saya masih lelah sebab panas-panasan tadi. Rasa haus membuat saya terlihat lebih resah dibanding pengunjung lain.

Akhirnya setelah menunggu beberapa waktu, menu kami pun lengkap. Saya langsung mencicip Bandeng Bakar yang katanya menu andalan di tempat  ini. 

Menu yang kami pesan di Warung IJo

Aroma Bandeng yang dibakar memang lebih wangi. Ada gurih dan asin begitu sampai ke lidah. Kombinasi paling nikmat adalah dengan memakannya bersama sambal dabu-dabu. Ada bagian Bandeng yang terasa amis di mulut, mungkin karena memang saya sedikit sensitif dengan makanan-makanan amis. 

Saya juga mencicipi Sop Saudara. Bisa dibilang ini pertama kalinya saya makan Sop Saudara. Sop ini kaya akan rempah, gurih dan kuahnya tidak begitu kental. Untuk lidah amatir saya masih amanlah. Selebihnya untuk camilan-camilan semuanya oke. Overall menu di Warung Ijo aman untuk lidah saya. 

Terkadang yang membuat niat seseorang ingin makan di suatu tempat tidak hanya menunya tapi suasananya. Bisa juga untuk menuntaskan rasa penasaran, kebutuhan untuk diakui atau rasa puas sudah berada di tempat yang tengah orang lain bicarakan. 

Bagi saya yang lidahnya masih awam dengan makanan Sulawesi tentu ini menjadi eksplorasi baru baik secara rasa maupun tempat. Namun bagi orang Sulawesi atau daerah timur, Warung Ijo ini lebih dari itu. Tempat ini bisa jadi rumah mereka untuk menamatkan rindu akan kampung halaman. 

Kalau dipikir-pikir kembali, banyak pulau di Indonesia yang belum pernah saya kunjungi, Sulawesi salah satunya. Setidaknya bisa mencicipi sedikit kulinernya di Jakarta membuat saya lega sekaligus khawatir. Lega karena saya sudah mulai mencicil mengenalnya, khawatir karena belum juga bisa mengunjunginya. 

Kenyang makan kami pun pulang ke hotel dengan berjalan kaki. Sampai di hotel tentu saja kami lapar lagi, hahaha.

Berpose di tangga menuju Warung Ijo & daftar menu


Hai, saya Ire. Bagi saya hidup adalah lifelong learning, pembelajaran yang tiada akhir. Melalui blog ini mari sama-sama belajar sembari sesekali bercerita mengenai kisah perjalanan hidup yang sudah saya lewati :)

Comments

  1. Hahahaha..next kuliner sumba yaa..

    ReplyDelete
  2. Judulnya aja udah bikin penasaran! Dan ternyata isinya sehangat semangkuk mie rebus di tengah hujan. Cerita Ire ini bener-bener menghidupkan suasana. Jadi pengin ikutan ‘terdampar’ juga di warung yang penuh rasa dan cerita itu.

    ReplyDelete
  3. Suka banget sama interior bagian dalam warung ijo. Bisa makan enak dan nyaman kalau kayak gini. Paling enak memang jalan jalan cari makan dan nemu makanan yang dijual di tempat estetik dan memenangkan kayak warung ijo ini ya kak

    ReplyDelete

Post a Comment