Skip to main content

Andai Aku Baca Buku Lima Sekawan 20 Tahun Lalu



Mungkin sebaiknya saya membaca buku ini 20 tahun lalu, saat di mana rasa penasaran dan jiwa petualang saya masih sulit dikendalikan. Di masa-masa itu imajinasi saya malah tengah asik dimainkan oleh buku The Princess Diaries-nya Meg Cabot atau Supernovanya Dewi Lestari.

Mungkin saya tak menemukan buku Lima Sekawan di perpustakaan daerah apalagi di perpustakaan sekolah. Mungkin saja buku ini tersembunyi di antara persewaan-persewaan buku dan komik tapi saya tidak memperhatikannya. 

Di jaman itu napas persewaan buku dan komik masih ada meski perlahan mulai terengah-engah. Harga sewa buku sendiri sedikit lebih mahal ketimbang komik. Mungkin karena itu pula saya lebih memilih meminjam komik-komik percintaan yang jumlah serinya lumayan banyak. 

Ya begitulah kenyataannya. Saya baru bisa membacanya sekarang, di saat usia sudah tidak lagi muda, saat dimana imajinasi saya sedikit keras kepala dan sulit diarahkan. Hasilnya banyak alur yang bisa saya cium arahnya pula banyak misteri yang bisa saya tebak sedari awal.

Sebenarnya tidak baik membatasi bacaan seseorang, seolah suatu buku terikat dengan usia tertentu, tapi memang buku ini akan jauh lebih maksimal dibaca oleh anak muda. Meski begitu jikalau pun orang dewasa mau membacanya bisa jadi membangkitkan kenangan di masa muda. Masa ketika kita semua melihat dunia ini penuh misteri. Kalau sekarang? saya lebih melihatnya penuh ilusi dan sandiwara, he. Ketika ada misteri yang berhasil dipecahkan hanya akan menyisakan reaksi semacam, “oh”.

Jadi bisa dibilang melalui buku Lima Sekawan ke Sarang Penyelundup inilah saya berkenalan pertama kalinya dengan sang pengarang, Enid Blyton. Seorang penulis buku anak yang amat sangat populer -mungkin bisa dibilang- sepanjang masa. Bahkan kabarnya di tahun 1930 buku-bukunya dibilang paling laris dan terjual hingga 600 juta eksemplar (hitungan global). 

Buku Lima Sekawan sendiri merupakan series petualangan yang totalnya berjumlah 21 seri. Buku pertamanya berjudul “Di Pulau Harta” dibuat pertama kali pada tahun 1942 sementara buku berjudul “Ke Sarang Penyelundup” ini merupakan seri ke 4. Buku ini pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bulan Mei 1997, saat di mana saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Maksudnya adalah saya sudah cukup paham untuk membacanya di usia-usia itu.

Jadi buat yang juga belum pernah membaca seperti saya, buku Lima Sekawan adalah buku yang menceritakan petualangan dari lima orang kawan yang terdiri dari Dick, Julian, Anne, George dan seekor anjing milik George yang bernama Timmy atau biasa dipanggil Tim. 

Ada-ada saja petualangan yang harus mereka alami dan seri “Ke Sarang Penyelundup” sendiri menceritakan petualangan mereka ke sebuah tempat yang bernama Sarang Penyelundup. 

Tempat ini sebenarnya adalah rumah dari kawan ayah George yang bernama Mr. Lenoir yang letaknya di atas bukit. Ia punya seorang anak laki-laki bernama Pierre Lenoir yang juga adalah teman sekolah dari Dick dan Julian. Mereka menjuluki Pierre Lenoir dengan sebutan “si hangus”.

Bersama si hangus dan adik perempuannya yang bernama Marrybell inilah Lima Sekawan akan memulai petualangan di rumah Mr. Lenoir yang ternyata penuh lorong dan misteri. 

Mereka harus pandai-pandai menyembunyikan Tim karena Pak Lenoir benci anjing, memecahkan sosok misterius yang ada dibalik menara pancar hingga menghadapi kelakuan menyebalkan dari pembantu Mr. Lenoir yang bernama Block. Siapakah Block sebenarnya? dan misteri apa yang berhasil mereka pecahkan? Ya, baca sendiri bukunya ya, hehe.

Buku ini cukup tua tapi masih menarik untuk dibaca meski beberapa hal mungkin sudah tidak lagi relevan seperti contohnya berkirim surat dan naik kereta kuda. Tapi asupan-asupan seperti itu baik juga untuk anak jaman sekarang. Petualangan lima sekawan terjadi di jaman belum ada HP maupun sosial media. Setidaknya itu bisa menunjukkan bahwa tanpa perangkat teknologi pun, masa muda akan selalu menarik, menyenangkan bahkan penuh petualangan. 

Ada beberapa hal yang saya suka dari buku ini, salah satunya cara penceritaannya yang runut dan rapi. Enid Blyton memang piawai dan sabar. Bahkan ia memberi saya kesempatan untuk mengimajinasikannya secara detail dan lengkap seperti seolah tengah membuat sebuah film. Yah, tentu saja buku ini termasuk kategori filming. Alurnya, detailnya, karakternya, semua sangat filming.

Membaca buku Enid Blyton membuat saya sadar bahwa selama ini saya menulis cukup tergesa-gesa seolah tengah diburu sesuatu. Saya tidak memberi kesempatan pembaca untuk membangun imajinasi mereka pula membiarkan mereka menyelesaikannya.

Ya tetap saja saya masih menyayangkan karena tidak membacanya 20 tahun lalu. Jika itu terjadi maka imajinasi saya akan tumbuh dengan luar biasa. 

Anyway thank you buat Lala untuk pinjaman bukunya. Terima kasih sudah mengenalkan saya kepada Enid Blyton :)

Hai, saya Ire. Bagi saya hidup adalah lifelong learning, pembelajaran yang tiada akhir. Melalui blog ini mari sama-sama belajar sembari sesekali bercerita mengenai kisah perjalanan hidup yang sudah saya lewati :)

Comments

  1. Aku salut sama orang yang baca serial ini
    Keren masa kecilnya
    Aku tuh dulu waktu kecil cuma dicekoki Bobo saja
    Makanya seolah wawasanku tak sekuat anak anak di Jawa pada umumnya
    Hmm... kalau mau mulai baca kira-kira dari serial mana ya?

    ReplyDelete
  2. Saat ini hujan deras dan membaca tulisanmu tuh semakin menarik, Seri 5 Sekawan ini memang mewarnai indah masa itu, aku sendiri lupa dengan detail ceritanya, seingetku itu kurang lebih masa buku Tintin.

    Suka dengan Insigh di tulisan ini >> Saya tidak memberi kesempatan pembaca untuk membangun imajinasi mereka pula membiarkan mereka menyelesaikannya. <<

    Makin belajar dan berproses menulis yang baik dan membuat pembaca betah untuk menikmati dan berimajinasi.

    ReplyDelete
  3. Memang saya Mbak Ire tidak membaca buku lima sekawan 20 tahun yang lalu. Karena memang seru sekali mengikuti petualangan mereka. Bahkan pernah serial Lima Sekawan ini ditayangkan di TVRI. Nanti coba baca trio Detektif juga, mbak



    ReplyDelete
  4. Rasanya memang ada buku-buku yang lebih "ngena" kalau dibaca di usia yang tepat, tapi tetap aja seru buat nostalgia dan melihat bagaimana cerita-cerita klasik seperti Lima Sekawan masih bisa dinikmati sampai sekarang.

    ReplyDelete
  5. jadi kangen dulu juga sering sewa novel di deket rumah. eh, sekarang masih ada nggak sih persewaan nonvel gtu? soalnya kadang perpus nggak lengkap koleksi bukunya

    wkwkwk setuju banget sama kalimat mbak "sekarang melihat dunia penuh ilusi dan sandiwara"

    eh, tapi aku juga belom pernah baca buku Lima Sekawan ini sih mbak. kalo dulu waktu sd aku lebih suka komiknya M&C wkwkw. hm, jadi penasaran apakah ada buku Lima Sekawan ini di Perpustakaan

    ReplyDelete
  6. Aku pun pertama baca pas masa putih abu kak, termasuk merasa agak telat baca. Coba kalau baca pas masih SD atau maksimal SMP, kebayang sih imajinasi kita bakalan wow banget. Dan buku ini syukurnya masih terselamatkan.

    Banyak buku tentang petualangan, bahkan seri ini dulu lengkap hanya saja karena sering pindah rumah, kena declutering deh.

    Alhamdulillah, kalau kak Rere menikmati baca buku ini walau terasa lumayan telat banget ya. Setidaknya bisa memacu banyak ide kreatif, soalnya dirimu ini termasuk yang beneran sering punya ide ciamik nan kreatif baik buat artikel, konten reels dan lainnya. Fighting, teruslah berkarya.

    ReplyDelete
  7. Daku baca buku Lima Sekawan malah pas kuliah Kak Ire wkwkwk, telat pake bingids yak.

    Hal itu ketemu bukunya Enyd ini di perpustakaan masjid deket rumah, gegara lagi nyari buku buat kebutuhan kampus. Pas ngubek² eh sekalian deh pinjam bukunya.
    Cuma sayangnya perpustakaan itu dah gak aktif lagi, huhu

    ReplyDelete

Post a Comment