Pon Pon pergi ditahun kabisat, tepatnya 29 februari 2024 lalu. Saya tak bisa memperingatinya karena bulan februari di tahun ini hanya sampai tanggal 28. Anggap saja, tepat di hari ini setahun yang lalu, kucing kesayangan kami, Klepon alias Pon Pon pergi meninggalkan kami.
Tadinya saya mau membuat tulisan atau video perpisahan secara lebih proper ketika kondisi saya membaik dan sudah siap untuk melakukannya. Tapi ternyata, hari demi hari, bulan demi bulan, hari yang saya tunggu-tunggu itu tak kunjung tiba. Selalu ada rasa nyeri ketika melihat video terakhir Pon Pon yang terlihat kesakitan. Saya tak sanggup melihatnya.
Akhirnya saya memutuskan untuk tidak membukanya sampai dengan waktu yang tidak bisa saya tentukan. Bahkan hari ini pun tepat di mana Pon Pon pergi saya masih belum siap untuk membukanya.
Mungkin ada yang akan bilang itu cuma seekor kucing, tapi bagi kami Pon Pon sudah seperti anak sendiri. Saya menyayangi Pon Pon seperti anak sendiri, meski terkadang suka memarahinya -yang juga seperti anak sendiri.
Saya membuat ini selain untuk peringatan satu tahun kepergian Pon Pon juga untuk mengingat bahwa anak bulu orange ini pernah hadir dalam hidup kami. Kami tumbuh bersama di masa-masa Covid 19 sedang parah-parahnya. Pon Pon adalah teman dan hiburan ketika gerak kami mulai dibatasi.
Tulisan ini akan sedikit melankolis, karena pada akhirnya Pon Pon pergi meninggalkan rasa sedih yang lama untuk disembuhkan. Saya akan menceritakan detail bagaimana Pon Pon pergi dan apa yang menghinggapi saya setelahnya, tapi lebih dulu saya ingin menceritakan bagaimana makhluk kecil ini datang di hidup kami.
Saat itu siang hari tapi saya lupa tanggalnya. Mungkin sekitar bulan maret tahun 2021 saya menjemput seekor anabul berwarna putih orange. Usianya kala itu masih kurang dari 3 bulan. Ia masih meminum susu dari botol mini layaknya seorang bayi. Ada lagi saudara kandungnya yang bulunya berwarna putih. Sang pemilik awalnya meminta saya memilih di antara keduanya, tanpa berpikir lama-lama, mata dan hati saya sudah tertambat kepada si oyen.
Saya dan suami belum pernah punya kucing sebelumnya (setidaknya kucing yang benar-benar dipelihara di dalam rumah). Bisa dibilang si oren akan menjadi anabul pertama kami. Kami awam soal kucing dan tak tahu bagaimana cara merawatnya. Meski begitu beberapa hari sebelumnya kami sudah memesan kandang kucing -yang belakangan saya tahu ternyata adalah kandang burung- dari marketplace. Kami juga memesan tempat makan dan minumnya sekalian.
Tetangga saya berusaha membantu dengan membawa pasir dan makanan untuk si oyen tapi tak dijamah sama sekali. Si oyen terus menerus mengeong seperti kebingungan dan ketakutan. Ia lalu mumpet di bawah meski cuci (padahal sempit sekali tempatnya). Mungkin ia belum terbiasa di tempat baru.
Saya berusaha menghiburnya dengan memutar video kucing dari Youtube, sesaat perhatiannya berhasil teralihkan tapi cuma beberapa detik, selebihnya ia mulai kembali mengeong. Saya juga memutar mainan tikus dari hp. Lagi lagi hal itu berhasil mengalihkan perhatian si oyen tapi tidak lama, ia kembali mengeong bahkan jauh lebih kencang. Saya ketakutan dan kebingungan, takut oyen tidak betah atau parahnya malah kenapa-kenapa.
Saya menelpon suami untuk mampir membeli susu SGM tanpa laktosa sepulang kerja untuk si oyen. Pemilik sebelumnya memberinya susu SGM jadi saya berupaya menyamakan. Pikir saya mungkin si oyen butuh susu. Tapi sayangnya ia menolak untuk meminumnya. Oyen sibuk mencari tempat persembunyian, di bawah mesin cuci, di dalam almari, di belakang kulkas.
Di hari pertama itu saya tidur dengan penuh kekhawatiran sementara si oyen bersembunyi di dalam almari baju kami.
Tak disangka ketika pagi, si oyen sudah mau tidur dipelukan suami. Rupanya ia bisa mencium gelagat orang baik (eh, maksudnya, saya bukan orang baik gitu?) ya intinya ia mulai terbiasa di rumah kami.
Kami lalu memberinya nama Klepon karena suami suka dengan makanan yang satu itu. Sayangnya banyak tetangga menolak nama Klepon hanya karena itu nama makanan. Kata mereka, nanti kalau makan Klepon jadi keinget kucing saya.
Padahal banyak artis memberi nama kucingnya dengan nama makanan seperti Wortel, Brownies, Chiki dan kawan-kawannya. Lalu apa yang salah dengan nama Klepon? Tapi daripada banyak orang tidak suka akhirnya kami mengalah dan menyingkatnya menjadi Pon Pon.
Sebetulnya cerita tentang Pon Pon sangat panjang dan banyak. Kalau ditulis bisa-bisa jadi satu buku sendiri maka dari itu saya akan mempersingkatnya. Akhirnya kami hidup bertiga. Saya dan suami juga mulai belajar merawat kucing. Mulai dengan membeli barang-barang, mainan kucing dan obat-obatan. Kami juga mempelajari berbagai hal tentang kucing dari internet.
Tadinya kami pikir hidup Pon Pon sudah terjamin dan bahagia di dalam rumah, tapi ternyata proteksi yang kami lakukan membuatnya susah bersosialisasi. Dia menjadi kucing anti sosial (ansos), selalu menerkam kucing lain yang lewat dan menolak kucing perempuan yang sengaja saya bawa ke rumah. Satu-satunya kucing yang Pon Pon mau ajak berkawan adalah si putih yang tak lain adalah saudara kandungnya itu.
Kebetulan si putih diadopsi oleh tetangga saya dan diberi nama Topa. Pon Pon sayang sekali sama Topa setiap kali Topa lewat di genteng belakang rumah -meski sosoknya belum terlihat, Pon Pon sudah bisa mencium aromanya dan mulai mengeong keras-keras. Awalnya saya bingung ia kenapa, tapi ternyata ada Topa. Saya pun berinisiatif memanggil Topa dan menggiringnya masuk ke dalam rumah.
Betapa bahagianya Pon Pon bertemu Topa, ia langsung menghujaninya dengan ciuman (btw mereka berdua cowok ya). Saking sayangnya, Pon Pon selalu mengekor kemanapun Topa pergi. Sementara Topa cuek bebek dan terkadang malah merasa terganggu dengan keberadaan Pon Pon.
Karena Pon Pon hanya kenal dengan Topa akhirnya ketika birahi ia tak tahu cara menyalurkannya dengan benar. Ia pun mengawini Topa, meski tidak kawin dengan benar (alat kelamin mereka tidak bertemu) tapi Pon Pon kerap dan terus-terusan mengawini Topa. Saya berkali kali memarahinya tapi sepertinya Pon Pon tak paham soal itu.
![]() |
Pon Pon & Topa |
Yah, lupakan soal kawin kawinan itu. Saya akan bercerita sisi manis Pon Pon. Dia tak pernah mengganggu masakan dapur saya meskipun itu ikan ataupun ayam. Ia sopan dan tidak beringas.
Pon Pon juga selalu membangunkan kami di pagi hari. Selalu dan setiap hari. Karena itulah kami tak pernah sekalipun terlambat atau kesiangan untuk sahur semasa kami hidup bersama. Tak sekadar berteriak, ia tak segan untuk menciumi, menjilati dan menabrakkan kepalanya jika kami enggan bangun. Kami pun akhirnya merasa geli dan menyerah untuk bangun.
Kami melewati masa pandemi bersama. Ketika saya dan suami terkena Covid dan harus diisolasi di rumah, Pon Pon ada bersama kami dan sepertinya ia juga terkena Covid. Selepas isolasi kami mengajaknya ke luar rumah untuk jalan-jalan.
Seperti biasa, Pon Pon seperti ketakutan dan tak mau jauh jauh dari saya. Ia bahkan berjalan menunduk dan merangkak. Ia akan kembali menaikkan bulunya ketika bertemu dengan kucing lain. Melihat polah tingkahnya, kami jadi merasa gagal dalam mendidiknya.
Pon Pon kecil suka dengan suara gemerincing bola. Saat tidur kami sering terbangun oleh suara bola kucing yang menggelinding. Rupanya Pon Pon sedang sepak bola seorang diri. Ia semakin girang melakukan sepak bola ketika berada di kampung halaman suami. Mungkin karena ruang tamunya seluas lapangan bola.
Saat ada kesempatan pulang kampung kami membawa serta Pon Pon. Ia pernah melewati aneka perjalanan, mulai dari naik mobil hingga ditempatkan di bagasi bus. Saya sangat khawatir kala itu, takut Pon Pon kenapa-kenapa dan sempat dilema selama beberapa waktu. Syukurlah akhirnya Pon Pon tiba di tempat tujuan dengan selamat.
Keluarga saya menyukai kucing, terutama ibu dan kedua adik (kalau Bapak tidak terlalu). Demi kedatangan Pon-Pon ibu mengusir dan menyingkirkan sementara kucing-kucing yang ada di rumah. Ibu menyuruh mereka tidur di luar rumah.
Pon Pon sudah seperti raja di rumah ibu saya. Bahkan Bapak yang tidak suka kucing pun tak berani menjahili apalagi menyakiti Pon Pon. Tentu itu karena beliau takut saya dan suami akan marah. Bapak sesekali menggoda Pon Pon dan mengajaknya bicara layaknya manusia -hanya demi menghargai kami.
Keluarga suami tidak terlalu suka kucing tapi tidak keberatan ketika kami membawa Pon Pon. Ketika malam ruang tamu mereka yang besar jadi milik Pon Pon seorang, sementara ketika siang dan ada tamu datang Pon Pon akan dipindah ke kamar belakang. Btw Pon Pon sudah terbiasa dilepas jadi kami menolak jika ada usulan untuk menaruhnya di kandang.
Pernah ketika pulang kampung kami meninggalkannya di pet motel tapi rupanya Pon Pon kurang bisa beradaptasi. Badannya berubah kurus meski kami meninggalkannya dengan banyak makanan.
Mata Pon Pon terlihat berair ketika saya datang menjemputnya. Ia mengeong keras seolah ingin saya segera membawanya pergi dari tempat itu. Saya pun langsung memeluknya dengan erat. Saya menaiki motor dengan kencang supaya Pon Pon cepat sampai di rumah.
Di rumah saya menangis sembari menyiapkan makanan basah untuknya, “makan yang banyak Pon, gemuklah kembali.” Berkali kali saya mengucap kata maaf padanya. Maaf karena telah meninggalkannya selama sepuluh hari di motel, maaf karena kami belum mampu untuk membawanya pulang kampung.
Setelah peristiwa itu kami lebih memilih membawa Pon Pon pulang kampung bagaimanapun susahnya. Kami sewa mobil, pinjam mobil, naik bus dan semacamnya.
Untuk Pon Pon kami renovasi halaman belakang rumah. Kami menutup seluruh bagiannya dengan kawat besi agar Pon Pon punya ruang gerak lebih besar. Bapak saya yang membuatnya. Bapak juga menaruh beberapa Papan gantung agar Pon Pon bisa nangkring dan melihat pemandangan di luar dari atas. Sayang Pon Pon hanya menggunakannya selama beberapa bulan saja. Setelahnya ia harus pergi meninggalkan kami semua.
Selain ansos, Pon Pon juga ringkih. Sedari kecil ia kerap sakit dan tak terhitung berapa kali kami sudah bolak balik ke dokter. Mulai dari puskeswan, dokter dekat rumah hingga dokter di kota sebelah. Saya selalu menaiki motor dengan kencang ketika membawanya ke dokter. Saya takut Pon Pon ketakutan di sepanjang jalan pula kepanasan.
Saat sakit parah, saya mengendarai motor sedikit lebih kencang dari biasanya sembari terus-terusan menangis di sepanjang perjalanan. Soal penyakit-penyakit Pon Pon akan saya ceritakan lain kali agar cerita kali ini tidak bertambah panjang.
Singkatnya Pon Pon sakit. Mungkin terlalu banyak antibiotik yang selama ini bersarang di tubuhnya. Pada akhirnya ia tak mampu lagi untuk bertahan. Saya sudah bolak balik ke dokter puluhan kali. Kata dokter ia baik-baik saja namun selalu saja diberi antibiotik.
Ia memang terlihat sehat tapi tak mau makan. Karena khawatir saya pun membawanya kembali ke dokter selama beberapa kali tapi jawaban dokter tetap sama, ia tidak menemukan penyebab Pon Pon tidak mau makan.
Akhirnya dokter merujuk Pon Pon ke klinik yang lebih tinggi untuk dilakukan cek lab secara menyeluruh. Hasil dari lab dibaca kembali oleh dokter langganan Pon Pon dan tidak ditemukan keanehan. Lalu saya berinisiatif ke Puskeswan. Tak disangka mereka meminta Pon Pon untuk rawat inap. Banyak cek lab yang harus dilakukan.
Sehari setelah Pon Pon rawat inap pihak Puskeswan menelpon dan meminta Pon Pon untuk diambil atau dipindahkan ke klinik intensif 24 jam. Mereka bilang Pon Pon sakit ginjal dan kondisinya sudah parah. Saya tidak bisa menahan emosi, kenapa Pon Pon tidak ditolong dan malah dikembalikan padahal hasil cek lab saja belum keluar. Dengan berat hati saya menyuruh suami yang tengah bekerja untuk ijin pulang dan mengambil Pon Pon.
Selama menunggu kedatangan Pon Pon saya berusaha menghubungi dokter langganan Pon Pon dan menceritakan semua. Mulai dari diagnosa, hasil lab dan saran untuk dirawat secara intensif selama 24 jam. Saya menanyakan apakah dokter bisa menangani Pon Pon secara intensif selama 24 jam? ia jawab bisa. Saya menanyakannya beberapa kali dan dijawab “bisa”.
Begitu sampai rumah, kami langsung membawanya ke dokter langganan Pon Pon. Wait! saya kembali menangis ketika mengingatnya. Saya tak tahu kalau hari itu adalah hari terakhir Pon Pon.
Hari berikutnya dokter Pon Pon mengabarkan sekitar pukul 9 pagi kalau Pon Pon sudah tidak ada sejak dini hari. Dia mengirimkan video Pon Pon ketika sakaratul maut. Video yang tak mau saya buka lagi sampai sekarang.
Pon Pon kesakitan dini hari dan meninggal, sementara saya dikabari jam 9 pagi! Saya sangat sedih, marah dan kecewa. Kalau memang dokter tidak sanggup intensif selama 24 jam kenapa ia tidak bilang sedari awal!?
Jika ia bilang tidak sanggup maka saya akan mencari klinik yang lebih baik! Kenapa tidak memanggil saya ketika Pon Pon kesakitan? jam berapapun entah itu jam 1 malam, jam 2 jam 3 saya pasti akan berlari ke sana. Di saat-saat terakhir Pon Pon ia harus kesakitan seorang diri.
Dokter bahkan memberi tahu di jam 9 pagi. Suami yang baru sampai di kantor langsung putar balik untuk mengambil jasad Pon Pon. Kalau dokter bilang pagi-pagi, ia tak perlu jauh-jauh ke Jakarta hanya untuk kembali lagi ke rumah!
Suami tak bertemu dengan dokter, hanya ada beberapa staff dan Pon Pon yang sudah dibungkus plastik berwarna hijau. Suami membawanya dengan motor, satu tangan memegangi Pon Pon dan tangan lain memegang stang motor. Saya tak ikut dan menunggu di rumah karena sedang sakit.
Kami mengubur Pon Pon di halaman belakang rumah. Saya tidak terlalu bersedih saat itu. Tapi hari-hari setelahnya saya dirundung kesedihan yang tak berkesudahan. Terkadang menangis sambil berteriak memanggil-manggil nama Pon Pon. Suami hanya bisa memeluk dan menenangkan saya. Sebagaimana ketika saya menulis ini, banyak sekali air mata yang harus ia bantu hapus.
Saya mulai merenung, sebenarnya apa yang membuat saya sangat sangat sedih soal ini? Kehilangan Pon Pon kah? rupanya bukan itu. Yang membuat saya sampai menangis setiap kali mengingat Pon Pon adalah perasaan bersalah. Saya merasa telah salah mengambil langkah. Saya merasa seharusnya bisa berupaya lebih baik lagi. Seharusnya saya ada memeluk Pon Pon di saat-saat terakhirnya. Seharusnya begini dan seharusnya begitu. Bagian mana yang salah dari tindakan saya? Tahapan mana yang salah? kata-kata itu yang terus menerus menghantui saya selama setahun ini.
Beberapa tetangga yang tahu betapa sayangnya kami sama Pon Pon datang ke rumah untuk berbelasungkawa. Dini, pemilik Pon Pon sebelumnya pun datang bersama ibunya dan seekor kucing kecil untuk menghibur saya. Kucing yang ia bawa lucu tapi saya sedang tidak tertarik dengan anabul. Kucing itulah yang nanti menggantikan Pon Pon. Saya juga akan menceritakannya di tulisan yang lain.
Dini berkata bahwa saya telah menjaga Pon Pon dengan baik. Tidak ada yang bisa menjaga Pon Pon sebaik saya, katanya. Ia juga berkata, penyakit yang Pon Pon derita mustahil untuk disembuhkan, cepat atau lambat jalannya akan tetap seperti ini. Kata-kata itu sempat menenangkan saya selama beberapa waktu. Tapi setelahnya saya kembali dirundung rasa bersalah yang tak berkesudahan.
Hari ini, tepat setahun yang lalu Pon Pon pergi. Betapa ingin rasanya mengulang hari itu untuk menemani Pon Pon di saat-saat terakhirnya dan meminta maaf karena tidak menjaga dia dengan baik. Meminta maaf karena membuatnya ansos dan tidak punya pasangan dan sendirian selama hidupnya.
“Terima kasih ya Pon, sudah hadir dalam hidup kami. Maaf atas keterbatasan pengetahuan kami. Maaf karena saya sering marah-marah setiap Pon Pon nakal dan kencing sembarangan. Kami sengaja menguburmu di dalam rumah agar kamu selalu ada dan tetap menjadi bagian dari hidup kami. Semoga hari-hari bersama kami adalah hari-hari bahagia dalam hidupmu. Tenang di sana ya Pon dan ijinkan saya lepas dari rasa bersalah yang tak berkesudahan ini.”
![]() |
Our beloved Pon Pon |
Kucingnya lucu dan keren kak. Sedih banget baca kisahnya ya. Nggsk kebayang saat sakaratul maut dia sendirian. Semoga Pon Pon tenang di sana dan mendapat tempat terbaiknya.
ReplyDeleteKalimat per kalimat aku baca menjelaskan betapa hatimu begitu murni Rere. Akhirnya aku mengerti betapa baiknya dirimu saat event kemarin, semoga rasa bersalahmu segera dilepaskan ya.
ReplyDeleteSetiap peristiwa memberi makna dan menjelaskan sesuatu, mungkin kehadiran pon pon dikalian untuk menemani masa Covid dan tugasnya sudah selesai. Perkara caranya pulang memang misteri, termasuk kenapa kalian tidak bisa ada disaat dia sekarat. Mungkin saja jika dikau melihat prosesnya berpulangnya dia, dirimu lebih sakit. Selamat berproses melepaskan ya Re.
Tidak sedikit yang bersedih ketika ditinggal kucingnya pergi
ReplyDeleteBeruntung yang memiliki bonding kuat
Kalau aku sangat sulit menyukai binatang karena banyak trauma di masa kecil
Semoga Pon Pon bahagia di sana ta
Pon Pon lucu banget...Kehilangan Pon Pon pasti berat banget, apalagi dia udah jadi bagian dari hidup selama ini., kelihatan banget kalau Pon Pon dirawat dengan penuh kasih sayang. Dia tahu dia dicintai....
ReplyDeleteAku jadi flashback dengan kucingku kemarin mbaa..namanya juni dan dia meninggal karena sakit juga..padahal saat itu usianya baru sekitar 6 bulan dan banyak rencana2 buat dia..itu juga kucing pertama kami mba, datang sendiri ke rumah dibawa sama ibuknyaa dan dia anak satu2nya jadi ya udah kami pelihara lah dia dgn segenap cinta..dan saat sedang sayang2nya kami harus kehilangan dia duhhh rasanya nyesekkk kami berdua juga menangis sejadinya, dan juni jg kami kubur di samping rumah :(
ReplyDeleteMba ire, aku ikut nangis baca ini ðŸ˜ðŸ˜. Berasaaaa banget sedihnya mba saat kehilangan ponpon. Walau aku belum pernah ketemu ponpon, tp ngebayangin detik2 dia kesakitan aja aku ga kuat juga. Krn tahu itu pasti menyiksa ðŸ˜.
ReplyDeleteAku juga punya kucing indoor, 5 ekor. Dan buatku mereka itu cahaya mata. Aku rela ga mudik hanya karena kucing2 ga bisa menginap di pet hotel. Mereka tipe pemalu dan takut dengan org tak dikenal. Jadi kami baru bisa mudik kalau asisten ku sudah balik ke rumah, Krn yg jagain nanti asisten
Sakit ginjal memang sakitnya kebanyakan kucing. Itu Krn mereka memang susah sekali utk minum .
Akupun kdg lama membujuk anak2 bulu supaya banyakin minumnya.
Seandainya aku JD mbak, semua video saat anabul sakit aku juga ga bakal buka, sampai kapanpun. Krn itu merusak kenangan indah saat mereka msh ada.
Biarlah kita ingat yg bagus2 nya dr mereka aja mba.
Saya bukan penyuka binatang, tapi apapun itu, rasa kehilangan itu sama beratnya, termasuk kehilangan binatang peliharaan kesayangan. Saya tidak bisa berkata apa-apa Kak, sedari tadi baca kisah Pon Pon hanya bisa tenggelam ke dalam emosi dan perasaan yang Kakak ceritakan. Meski tidak bisa merasa relate, saya bisa paham kenapa Kakak menyayangi Pon Pon sampai-sampai masih merasa bersalah sampai sekarang atas kepergiaannya.
ReplyDeletePonpon..kamu cute banget. Memang shock dan terasa sedih sampai sekarang ya kalau anak bulu kesayangan ternyata sudah pergi selamanya.
ReplyDeleteKak Ire hebaat. Telaten ngurus kucing.
ponpon lucu yaaa. meski aku nggak berani sama kucing tapi pengen banget suatu saat berani dan bisa pelihara juga sebagai teman di rumah. biar ada teman main dan ngobrolnya gtu hehe.
ReplyDeletejadi ikutan sedih ngebaca ini :(
Pon pon sudah tenang dan nggak sakit lagi yaa. Saya tuh nggak suka melihara hewan-hewan, salah satu alasannya karena nggak siap kalau ditinggal mereka. Ikan anak saya mati aja pas mau buangnya sediiihh banget rasanya, apalagi anabul yang sudah membersamai sekian lama. Patah hati banget ya Kak pastiii :((
ReplyDeleteAku ikutan sedih baca ini. Ikutan nyesek saat Pon pon sakit. Tapi benar kata pemilik ponpon sebelumnya. Bahwa kakak sudah menjaga Ponpon dengan sangat baik.
ReplyDeleteKak, peluk virtual. Beneran rembes banget mata bayangin perasaan ketika kehilangan Pon Pon. Aku setuju sama Dini. Kakak sudah merawatnya dengan baik, kalaupun terkait Pon Pon jadi Ansos mungkin efek jarang diajak keluar? Karena situasi memang lagi pandemi juga kan.
ReplyDeleteIni walaupun belum ketemu Pon Pon langsung, aku bisa bayangin betapa imut lucu dan baiknya Pon Pon. Sangat wajar jika begitu kehilangan dan video sakaratul mautnya pasti tidak mampu ditonton, sakit banget rasanya.
Dari foto-fotonya, Pon pon ini lucu dan menggemaskan dengan bulu-bulunya yang bersih. Dan memang berat kehilanan Pon Pon yang sudah bersama sejak 2021 ya, Mbak, bahkan teman di saat masa-masa Pandemi juga. Semoga Mbak Ire segera mendapatkan pengganti Pon Pon
ReplyDeleteYa Allah sediih...selamat jalan Pon pon...aku punya kucing yang wafat tahun lalu namanya Boci dan sampai sekarang kalau lihat fotonya pengen nangis huhu...
ReplyDeleteKesedihannya bisa daku rasakan kak, karena pernah juga sedih kehilangan kucing waktu. Mirip Pon-pon juga bulunya oyen putih gitu. Cuma sama abang tuaku dinamain Hendri padahal dia kucing betina.
ReplyDeleteDia sering main ke rumah. Ya, bukan kucing peliharaan daku, tapi tetangga seberang. Entah kenapa suka main dia sama daku, jadi kek punya temen ngobrol.
Eh pas daku mau sidang wisuda, Hendri udah gak ada padahal daku mau cerita sama dia ðŸ˜
Daku gak nyimpen foto sama suaranya, karena gak sempet ikut pindah file memori waktu ganti hape huhu
Kehilangan kucing kesayangan bukan hal yang biasa
ReplyDeleteRasanya pasti sedih
Aku sudah berkali-kali merasakan kehilangan kucing kesayangan, namun rasanya tetap sama
Sedih dan menyesakkan
Klepon cakep banget ya sayangnya sudah berpulang tapi selama hidupnya sudah bahagia oleh Mbak ire sekeluarga jadi kenanglah dia dengan baik yaitu ketika masa-masa sedang sehat dan lincah biar kenangan yang indah
ReplyDeleteWalau itu hanya hewan, tetapi kehilangan kesayangan itu pasti sulit. Kehilangan anabul kesayangan pernah juga dialami anakku dahulu sampai-sampai dia tak mau masuk rumah. Kini setelah dia dewasa dan berkeluarga, kesukaannya pada anabul diwariskan ke anaknya, cucuku. si cucuku ini malah melebihi kecintaan papanya sama anabul. Semoga Rere bisa mengatasi kesedihannya yah... jangan lama-lama sedihnya kasihan Pon Pon nanti tidak tenang dia.
ReplyDelete