Vibes kamar di hotel kapsul Tokyo Cubo, Bandung |
Kalau tak menginap di hotel kapsul saya tidak akan bertemu bule yang barangnya buanyak dan berantakan hingga melintasi batas wilayah kamar tidur saya dan Lala. Padahal kedua bule perempuan itu cukup ramah ketika datang, mereka menunduk ketika melewati kami seolah tengah memberi salam. Semua terlihat baik meski tidak dengan barang-barangnya.
Sepertinya mereka adalah para backpacker. Volume tas ransel mereka cukup besar dan seperti yang tadi saya bilang, berantakan. Ada sendal jepit, air mineral, buah apel serta botol berisi semacam lotion dan skincare.
Ingin rasanya berkata, "Eh Mbak, barang-barangmu itu lho mbok ditata yang rapi atau masukin loker gitu lho!" tapi saya tidak tahu bahasa apa yang mereka gunakan.
Barang-barang bule di depan kamar tidur Lala |
Bisa jadi bukan bahasa Inggris. Saya sempat mendengar mereka bercakap-cakap samar-samar, tapi tidak terlalu paham bahasanya. Tapi sepertinya bukan inggris maupun Perancis (saya sedikit tahu bahasa Perancis sedari SMA).
Keduanya menempati kamar di sebelah kami (nomer 1), yang satu di atas dan satu di bawah sementara aku dan Lala menempati kamar yang bersebelahan. Aku nomer 3 sementara Lala nomer 2.
Diam-diam saya berdoa agar bagian atas kamar kami tak ada yang menyewa. Dan benar saja, hingga terakhir check out tidak ada tanda-tanda orang tidur di atas kami. Mungkin karena saat itu weekday jadi tidak terlalu ramai.
Kamar saya sama persis dengan yang muncul di Youtube Gritte Agatha. Saya memang mendapat info soal hotel ini -salah satunya- dari Youtube-nya Gritte Agatha. Saya cukup jeli ketika meriset sebuah hotel. Pengalaman kurang menyenangkan yang saya alami lebih dari 10 tahun lalu membuat saya jauh lebih berhati-hati.
Kala itu saya dan kawan-kawan sepekerjaan sedang berlibur ke Jogja, karena kecerobohan kami yang tidak memesan hotel jauh-jauh hari akhirnya kami mendapat hotel seadanya. Rupanya bagi saya hotel dengan kondisi seadanya dan kurang bersih bisa merusak mood liburan yang sudah tersusun, bahkan membawa ingatan traumatis hingga sekarang.
Sejak itulah saya selalu memastikan hotel yang saya sewa harus dalam kondisi baik. Tidak masalah soal harga yang murah yang penting setidaknya bersih dan aman.
Setelah mempertimbangkan budget dan tetek bengeknya akhirnya saya memilih hotel kapsul Tokyo Cubo Bandung. Lokasi hotel ini tidak berada tepat di pinggir jalan raya. Kami harus masuk sejauh beberapa meter ke jalan pandawa. Ada beberapa penjual makanan di area depan. Bahkan ada mini cafe juga di sebelah hotel -yang sepertinya masih satu pemilik dengan Tokyo Cubo.
Hotel Kapsul Tokyo Cubo di malam hari (tampak depan) |
Mungkin karena namanya yang unik atau karakter kejepang-jepangannya yang membuat saya penasaran dengan hotel ini. Di luar itu saya memang ingin merasakan sensasi tidur di hotel kapsul. Fyi, terakhir saya menginap dihotel dengan ranjang tingkat semacam itu sekitar 2017 lalu di Singapore, setelahnya tidak pernah lagi.
Review hotel ini cukup baik, bahkan saya tak menemukan kesan negatif dari orang-orang yang pernah menginap di sana. Harganya juga sangat murah. Jika dihitung (termasuk pajak) kami hanya menghabiskan Rp. 109,250 per orang untuk satu malam. Oh iya itu harga itu belum termasuk deposite sebesar Rp. 50.000 rupiah per orang saat check in ya.
Layaknya hotel kapsul pada umumnya, ukuran tempat tidur kami kecil, mungkin sekitar 2 x 1.5 meter dengan model tingkat 2. Meski mini tapi sudah disertai colokan listrik, rak hanging, gantungan dinding untuk menaruh baju atau jaket, satu buah bantal serta satu buah selimut. Ada mini laci di bawah setiap tempat tidur yang bisa dipakai untuk menaruh barang-barang. Saya memakainya untuk menaruh make up dan charger.
Di Tokyo Cubo kamarnya terbagi menjadi 3 jenis. Pertama Ginza yaitu kamar khusus perempuan, Shinjuku yaitu kamar khusus laki-laki dan Harajuku kamar campur laki-laki dan perempuan.
Pintu masuk Ruang Shinjuku dan Harajuku |
Kami tidur di ruang Ginza (tentu saja). Plang namanya berwarna pink yang mengasosiasikan warna perempuan. Letaknya ada di sebelah kiri dari arah datang.
Ketiga ruangan tadi di satukan oleh sebuah ruangan penengah -yang cukup mendapat banyak sinar matahari alias terang benderang. Di depan masing-masing ruangan terdapat rak sepatu dan sendal yang menurut saya sebenarnya sedikit merusak pemandangan.
Jalan menuju ke 3 ruang tidur |
Begitu masuk ke ruang tidur kami disambut tulisan Tokyo Cubo dengan mural warna warni yang lucu dan unyu. Mural inilah yang sering dipakai reviewer di halaman-halaman channel atau blog mereka dan mungkin saja akan saya pakai juga, entahlah tunggu saja nanti hingga tulisan ini selesai. Inilah alasan mengapa saya bilang rak-rak sepatu tadi merusak pemandangan.
Mural di dinding depan 3 ruangan dengan rak sepatu |
Di Ginza ada 7 bed tingkat jadi totalnya 14 bed. Ranjang-ranjang tadi terbagi ke 2 sisi dan dipisahkan oleh loker. 8 bed di sisi kiri dan 6 bed di sisi kanan. Setiap kamar ditutup dengan tirai ala roller blind. Ini roller blind ternyata cukup menyusahkan karena di tempat Lalasempat tersendat dan tidak bisa dinaik turunkan.
Berfoto di dalam ruang Ginza |
Akhirnya dengan kemampuan ala kadarnya, saya menghabiskan banyak menit untuk memperbaikinya. Syukurnya dengan sedikit ketekunan dan semangat pantang menyerah, tirai Lala bisa di naik turunkan kembali, yeay! Sejauh itu, itulah pencapaian terbesar saya di Bandung, hehe.
Kamar mandi di Ginza terdiri dari beberapa pintu (maaf lupa) ada toilet ada kamar mandi. Di sana sudah dilengkapi wastafel juga. Soal kamar mandi, mungkin karena warna cat yang gelap jadi kesannya "rada gimana" gitu. Padahal banyak lampu tapi kita harus menghidupkan semuanya dulu biar terang, itu pun tidak bisa terang maksimal.
Saya bilang ke Lala, "aku kok rada merinding setiap kali ke kamar mandi ya La," tentu Lala berusaha menenangkan bahwa itu hanya perasaan saya saja.
Karena aktivitas ke kamar mandi menjadi hal yang sedikit saya hindari jadilah semalamam saya menahan kencing. Padahal Lala sudah mengiyakan untuk menemani saya ke kamar mandi jam berapapun, tapi entah kenapa rasa sungkan tiba-tiba menyerang.
Saat itu mungkin sekitar pukul 3 pagi dan saya sudah melek. Mau kencing takut, mau membangunkan Lala kok tidak enak rasanya. Ternyata Lala juga sudah bangun dan tidak berani membangunkan saya. Masing-masing dari kami hanya saling menunggu ada sedikit suara untuk bisa memulai berkomunikasi.
Setelah akhirnya tahu kalau kami sama-sama sudah bangun, kami pun berbincang dengan suara sepelan mungkin. Tiba-tiba saja terdengar suara dari kamar sebelah (kamar bule-bule tadi).
"Ssstttt..." Rupanya mereka terganggu dengan suara kami. Mungkin mereka berpikir kenapa kami harus berisik di pagi buta? Ya tentu saja karena kami muslim dan butuh salat subuh, bule!
Saya berharap mereka tak terganggu dan mulai terbiasa dengan suara adzan di negeri ini yang berbunyi 5 kali dalam sehari, hehe.
Akhirnya kami mengendap-ngendap ke kamar mandi, kencing, wudhu dan keluar dari Ginza untuk menuju ke tempat salat. Sebenarnya saya sudah meminta Lala untuk salat di ruangan kami saja tapi ternyata kondisinya tidak memungkinkan. Tak ada space yang cukup untuk salat terutama yang searah dengan kiblat.
Oh ya soal kamar mandi lagi, sebenarnya tidak semenyeramkan itu kok, bahkan bersih. Letaknya ada di depan 6 bed (sebelah kanan pintu masuk). Tidak jauh dan tidak angker. Mungkin memang saya saja yang terlalu parno dan penakut.
Tempat salat ada di dekat ruang lobby (public area) dekat dengan resepsionis. Ruangan salat mini ini ternyata juga dihuni oleh para galon isi ulang, walhasil saya salat menghadap galon-galon yang dipisahkan oleh tirai putih panjang dari atas ke bawah (terima kasih tirai).
Publik area dekat lobby dan ruang salat |
Di public area ini terdapat meja untuk duduk lesehan, sebuah televisi, beberapa koleksi komik serta sebuah showcase yang berisi aneka minuman serta sebuah dispenser. Komik-komiknya cukup membuat penasaran tapi karena kami tak punya banyak waktu, kami sama sekali belum sempat bersantai di ruangan itu.
Rupanya hampir semua kamar bi bagian bawah penuh di hari itu dan kebanyakan memang para bule backpacker. Pengalaman bertemu bule dengan segala kelakuannya itulah yang sebenarnya ingin saya cari dan mungkin tidak bisa didapat kalau saya menginap di hotel mewah.
Ya, di tempat itu saya bisa tidur cukup nyenyak. Saya memang tipe orang yang bisa tidur di mana saja. Mungkin juga saya bisa tidur nyenyak karena lampu warna kuning yang memberi vibes melow dan hangat di setiap kamar atau memang karena terlanjut kelelahan.
Di hari terakhir kami menyempatkan diri untuk foto-foto di depan mural Tokyo Cubo. Kami menyingkirkan rak-rak sepatu karena merusak pemandangan.
Pas sudah disingkirkan, seorang pria keluar dari ruang Shinjuku dan bingung mencari sepatunya.
"Maaf Mas," kata saya sembari mengembalikan rak sepatu ke tempat semula.
"Habis merusak pemandangan," kata saya polos.
Dia menunjukkan mimik muka tidak keberatan dan sepertinya memaklumi kelakuan kami.
Kami check out pukul 7 pagi karena harus mengejar sarapan di lokasi yang berbeda dan para bule sepertinya belum bangun. Saya mengembalikan kunci pintu utama Ginza dan mengambil kembali uang deposit yang kami serahkan sehari sebelumnya.
Melalui tulisan ini saya ingin berterima kasih sama Lala karena bersedia mengalah dan mau saya ajak menginap di Tokyo Cubo. Kami tak hanya meninggalkan Tokyo Cubo tapi para bule dengan segala karakter dan keunikannya. Ternyata ada juga ya bule yang tidak rapi! Ya iyalah Re, kan bule juga manusia, hehe!
AKu senang deh kalau dirimu juga suka kerapian wkwkwwk. Makanya kalau traveling dengan orang yang berantakan suka narik nafas, kalau orang kenal paling aku bantu aja rapiin supaya kepalaku ga pusing wkwkwkw.
ReplyDeleteAku belum pernah nih punya pengalaman nginap di hotel kapsul, kapan-kapan mau nyobah aaah, kayaknya lebih seru kalau sama kalian yak. Ikutan dong kalau pergi lagi #eh.
He, iya Kak, meski murah harus tetap rapi :) Waa seriun nih Kak Nik menginap di hotel capsule? he hmm mungkin coba next di Bobopod dulu kali ya Kak, biar Kakak nggak terlalu kaget :D
DeleteHuaa penampilannya emang Jepang banget yaaa, terlihat dari desain di luar maupun di ruang makannya.
ReplyDeleteYah setiap perjalanan pasti ada cerita yaa, kali ini bule yang gak rapi itu. Mungkin karena terlalu lelah ya dan barangnya terlalu banyak dan tetap mau menghemat, jadi mau gak mau di hotel kapsul walaupun berantakan dan akhirnya ganggu yang lain, huhu. Semoga pengalaman menginap di hotel kapsul berikutnya lebih menyenangkan yaa :D
menginap di model kamar kapsul kayak gini bener bener ketemu tamu yang unik. Memang bener yang dibilang mba Ire, kadang kita liatnya tuh bule waktu backpacker kayak tertata rapi, padahal di kamar aja barangnya berantakan buanget. Apalagi kalau tidur di model kamar asrama gini.
ReplyDeleteDan kadang kalau kita berisik jadi agak sungkan ya, maklum pastinya semuanya butuh ketenangan.
Enaknya kalau nginep di kamar gini, jadi punya kenalan baru juga
Berhubung termasuk sbg orang yg susah tidur, kyknya gak bakal berani nyoba2 untuk tidur di hotel kapsul begini. Mungkin tertarik melihat2 ke dalam aja, ingin tahu tempat tidurnya bagaimana. Tapi pengalamannya memang seru banget ya, bisa berinteraksi sm tamu lain dgn segala keunikan mereka.
ReplyDeleteWah.. saya seperti dejavu membaca cerita Mbak Re. Saya sudah pernah menginap di sini semalam, pas ada acara di Bandung. Terjangkau dan lokasi strategis. di Sekitar banyak yang jual makanan. Bahkan pulangnya, saya sengaja ke alun-alun berjalan kaki kemudian naik agen travel dekat situ.
ReplyDelete