Skip to main content

Menamatkan Sarapan di Roemah Helena Bandung

Mencari tempat sarapan itu tidak semudah mencari tempat makan siang atau makan malam. Itu yang saya rasakan setiap kali travelling ke suatu tempat. Mungkin karena banyak orang menyepelekan sarapan. Beberapa malah tidak terbiasa sarapan atau kalaupun sarapan ya seadanya saja. Ceplok telur, makan roti, makan buah, minum jus buah, oat meal, dan semacamnya.

Mungkin itu pulalah yang membuat tempat sarapan tak sebanyak tempat makan siang maupun makan malam. Sewaktu di Bandung, saya dan Lala cukup bingung menentukan tempat untuk sarapan. Sebenarnya kalau sesuai itenarary, kami seharusnya sarapan di lotong Cibadak yang sempat viral di sosial media itu. Tapi setelah diriset ulang diperkirakan akan mengantri panjang tak karuan.

Lalu malam sebelumnya kami memutuskan untuk memilih tempat lain. Ada beberapa rekomendasi tempat sarapan di Bandung. Kalau dilihat dari daftar list-nya sepertinya dibuat dan diperuntukkan untuk anak-anak muda. Kebanyakan dari list tersebut berbentuk cafĂ©. 

Daftar rekomendasinya kurang lebih ada 10 tempat dan dari kesepuluh tempat kami dengan cepat saja memfilternya menjadi 4 ; Roemah Helena, Kopi Moyan, Kopi Tiam 198 dan Woi Supertiam.

Setelah mengecek satu per satu baik lokasi, menu, harga serta suasana melalui Google, kami pun sepakat untuk sarapan di Roemah Helena yang jaraknya sekitar 2.7 dari hotel tempat kami menginap.

Kami sengaja check out pagi sekitar jam setengah 7 agar bisa segera menuju ke roemah Helena. Karena saya memang kurang bersahabat dengan transportasi mobil (Gocar, Grabcar dan taksi) saya pun meminta untuk naik ojek online saja. Pas banget kebetulan ada diskon jadi saya cuma bayar 5 ribu rupiah ke sana. Ya, benar sekali, cuma 5 ribu rupiah. 

Motor ojol kami beriringan menuju ke Jalan Aceh. Jalanan Bandung di pagi hari dan weekday cukup padat tapi tidak semacet di Jakarta. Udaranya pun masih ramah dihidung. Masih banyak pepohonan di kiri kanan. 

Roemah Helena mudah sekali mencuri perhatian. Mungkin karena kombinasi warna merah dan krem yang lebih terang dibanding bangunan-bangunan di sebelahnya atau karena terlihat lebih ramai pengunjung.

Suasana pagi hari di Rumah Helena

Kami tiba tepat pukul 7 tapi beberapa orang sudah terlihat menduduki kursi-kursi pendek yang ada di halaman Roemah Helena. Seorang pramuniaga menyambut dan mengarahkan kami. Tempat ini tidak terlalu besar pula mewah tapi ada pramuniaga yang khusus mengarahkan pengunjung itu artinya kemungkinan tempat ini selalu ramai hingga mereka kewalahan.

Setelah meminta ijin untuk mengambil gambar kami pun mencari spot makan terbaik yang kebetulan ada di pojokan. Tepat di sebelah kanan meja kami (bagian samping) ada lorong dengan pintu ala-ala jaman dulu. Di kanan kiri lorong ada berbagai tempelan gambar dan tulisan China yang terlihat seperti berasal dari robekan majalah jadul.

Warna warni gambar menyatu dengan tembok yang sudah usang semakin seolah menghasilkan nuansa klasik. Ada juga tempelan-tempelan pesan yang segaja dibuat jadul. Oh ya, sepertinya saya perlu lebih dulu membahas tentang bangunan Roemah Helena.


Nama Helena ada di bagian depan (segitiga) rumah ini. Konon kabarnya Helena adalah nama pemilik (noni) Belanda yang dulu punya rumah ini. Jadi bisa dibilang rumah ini warisan jaman peninggalan Belanda. Meski modelnya jadul tapi bangunan Belanda karakter konstruksinya dikenal kuat dan kokoh. Mungkin itu pulalah alasan mengapa bangunan ini masih kokoh hingga sekarang.

Rumah ini sudah mau dijual oleh pemiliknya yang sekarang. Saya tahu kabar ini melalui TikTok si pemilik. Meski punya banyak kenangan turun temurun dari keluarga si pemilik tapi wasiat dari kakek memang menyuruh rumah ini untuk dijual.

Kabarnya hingga sekarang rumah ini masih berstatus “for sale”. Sembari menunggu owner yang cocok dan tepat, rumah ini akhirnya dijadikan tempat usaha. 

Kembali ke sarapan. Saya mengantri untuk pesan makan dan kondisinya bisa dibilang masih belum ramai. Menu-menunya cukup terjangkau dan setelah menimbang-nimbang akhirnya kami pesan Mie Koeah Kental, Roti Panggang Teloer Mayo, Gohyong Helena, Bala Bala, Es Kosoe Helena dan Es Tjokelat Helena. Total yang harus kami bayar untuk semua menu hanya Rp. 100.000 saja.

Menu Pesanan Kami di Rumah Helena

Setelah tahu nama menu-menu yang ditulis dengan ejaan jadul saya paham bahwa memang tempat makan ini ingin mengusung tema jadul mulai dari bangunannya yang memang sudah jadul, nama menu-menunya, hingga tembok-tembok yang dibiarkan berlumut.

Bagian penerima order memberi saya wireless calling system. Sembari menunggu pesanan kami pun mengabadikan banyak sudut Roemah Helena. Beberapa orang melihat aksi yang kami lakukan, mungkin heran atau justru paham. Sekalian saja saya keluarkan tripod untuk menegaskan bahwa kami butuh untuk membuat konten. 

semakin siang antrian semakin panjang 

Tak butuh waktu lama, mesin antrian kami pun berbunyi. Saya beranjak untuk mengambil pesanan kami di tempat  order tadi. Semua menu menggiurkan apalagi untuk perut yang tengah keroncongan.

Rasanya bisa dibilang lumayan. Katanya Mie Koeah Kental di sini yang paling best seller tapi saya justru paling suka dengan Roti Panggang Teloer Mayonya. Pesanan kami kurang satu yaitu bala-bala. Begitu kami hampir menuntaskan menu-menu yang sudah datang lebih dulu, panggilan kedua datang. Ternyata si bala-bala sudah siap untuk disantap.

Tadinya kami pikir pesanan kami cukup sedikit tapi ternyata banyak juga. Perut kami sudah penuh dan memutuskan untuk membungkus si bala-bala dengan plastik ala kadarnya. Pengunjung lain lagi-lagi memperhatikan gerak gerik kami. Mungkin batin mereka, “tadi foto-foto sekarang bungkus-bungkus.” Bodo amatlah ya wong kami bayar, hehe.

Di jaman susah nan penuh sampah seperti sekarang, sangat tidak baik meninggalkan sisa makanan. Sudah terlalu banyak makanan terbuang yang hanya menjadi tumpukan sampah dan menyebabkan pemanasan global, nah lho!

Oh ya bala-bala di sini dilengkapi dengan sambal, sepertinya  semacam sambal terasi. Saya tidak memakan ataupun membawanya jadi saya lupa sambal apa itu. 

Yah, seperti itulah cara kami menamatkan rasa lapar di pagi pertama kami di Bandung. Entah kapan lagi bisa ke sana, tapi semoga kelak kalau ke sana Roemah Helena belum menemukan penghuni barunya, eh tapi kok kesannya mendoakan agar tidak laku-laku ya? Kalau begitu semoga apapun itu adalah yang terbaik untuk Roemah Helena.


Hai, saya Ire. Bagi saya hidup adalah lifelong learning, pembelajaran yang tiada akhir. Melalui blog ini mari sama-sama belajar sembari sesekali bercerita mengenai kisah perjalanan hidup yang sudah saya lewati :)

Comments