Petani Pinang Jambi | istagram : @plepah_id |
Mungkin publik mulai lupa dengan berita tentang paus sperma yang mati dan terdampar di Wakatobi pada tahun 2018 lalu. Yah, anda tidak salah baca, itu terjadi di Wakatobi yang katanya surga bawah lautnya Indonesia. Lebih parahnya lagi di dalam perut si paus ditemukan sampah plastik sebanyak 5,9 kilogram. Isinya bermacam-macam, mulai dari gelas plastik, botol plastik, kantong plastik, tali rafia bahkan sandal jepit.
Berita tentang sampah dalam perut paus memberi sinyal bahwa laut kita sedang tidak baik-baik saja. Itu pulalah yang juga dirasakan oleh seorang Rengkuh Banyu Mahandaru ketika menapakkan kaki di Wakatobi. Rengkuh senang diving, tapi belakangan hobinya itu tidak lagi menyenangkan.
“Waktu saya ke Wakatobi, saya merasakan langsung dampak styrofoam dan plastik mengganggu sesuatu yang membuat saya senangi” ujar Rengkuh Banyu Mahandaru, founder Plepah dalam acara Astra Talks 15th SATU Indonesia Awards 2024 yang berlangsung di Menara Astra lt.5 pada 29 Oktober 2024 lalu.
Rengkuh di Astra Talk Satu Indonesia Awards | dokpri/irerosana |
Tak bisa dipungkiri, wisata bahari menjadi salah satu keunggulan dari Wakatobi, di sisi lain tanpa disadari tumpukan sampah kemasan diam-diam mulai mengintai dan mendiami laut mereka.
Kala itu terjadi Rengkuh belum menjadi seorang pegiat lingkungan. Ia hanya seorang karyawan biasa yang bekerja sebagai produk desainer. Tapi apa yang ia lihat di Wakatobi mulai meresahkannya.
Berbagai pikiran mulai muncul, mungkin saja sampah-sampah itu berasal dari bungkus makanan yang ia makan sehari-hari. Mungkin juga laut Wakatobi mulai kotor karena ulahnya sendiri. Ia lalu teringat tentang makanan -makanan dengan bungkus plastik dan styrofoam yang dengan mudah ia pesan melalui aplikasi.
Di sisi lain persoalan sampah di negeri ini menjadi isu yang tak kunjung menemukan ujung. Jumlahnya semakin betambah setiap sehari. Di tahun 2023 saja jumlah sampah di Indoneia sudah mencapai 38 juta ton. Dari total tersebut 19,21%nya merupakan sampah plastik yang 70%nya mengalir ke laut. (SIPSN)
Yang dimaksud sampah plastik di sini bermacam-macam, salah satunya adalah styrofoam. Sampah kemasan jenis ini perlu diwaspadai karena jumlahnya sangat banyak seiring maraknya penjualan makanan lewat aplikasi dan media sosial.
Harganya yang murah serta bentuknya yang bervariasi dengan banyak ukuran menjadikan styrofoam ramai peminat.
Masalahnya adalah kemasan ini tidak bisa didaur ulang maupun terurai dengan mudah. Sama halnya dengan plastik, styrofoam hanya akan berubah menjadi mikroplastik, partikel atau butiran-butiran plastik berukuran kurang dari 5 milimeter.
Meski ukurannya sangat kecil tapi Mikroplastik sangat berbahaya. Mulanya ia akan mencemari ekosistem bawah laut, merusak organ ikan, masuk ke lambung manusia melalui makanan hingga menyebabkan beberapa penyakit.
Di luar masalah kesehatan dan lingkungan, sampah-sampah di laut tentunya juga akan berdampak pada perekonomian warga sekitar yang menggantungkan pendapatannya dari pariwisata. Seluruh persoalan itu membuat seorang Rengkuh merasa cemas dan khawatir tentang nasib bumi yang ia tinggali.
Perjalanan Berbuah Ide
Pasca memutuskan resign dari pekerjaan lamanya Rengkuh mulai aktif membantu Badan Ekonomi Kreatif (Barekraf) untuk menemukan potensi ekonomi di wilayah Indonesia. Ia lalu mulai melakukan perjalanan ke berbagai wilayah yang ada di Indonesia.
Di tahun 2018 Rengkuh bersama dengan A Non Governmental Organization (NGO) yang fokus pada konservasi hutan, berkunjung ke salah satu desa di Kabupaten Musi, Banyuasin, Sumatera Selatan. Namanya desa Mendis.
Di desa tersebut Rengkuh belajar banyak hal, salah satunya cara berinteraksi dengan para petani. Di sana ia juga menemukan banyak pelepah pinang yang hanya dianggap sebagai sampah tanpa nilai jual.
“Saat waktu itu di jambi, dan kebetulan saat itu juga lagi ada kebakaran hutan, 2018. Saya waktu itu bekerja dengan salah satu NGO, jadi saya tahu kenapa kebakaran ini terjadi dari kacamata petani yang saya tinggali rumahnya,” ungkap Rengkuh mencoba mengingat tentang kondisi yang ia alami di Mendis.
Masyarakat di desa Mendis tak punya sumber pendapatan lain selain bertani dan untuk membuka lahan pertanian mereka melakukan pembakaran dengan menggunakan pelepah pinang.
Tanaman pinang atau bahasa latinnya Areca Catechu L memang banyak dijumpai di daerah Jambi dan Sumatera Selatan bahkan diperkirakan luas lahan pinang di Jambi tahun 2020 ada sekitar 22 ribu hektar.
Tanaman ini dinilai memiliki banyak manfaat terutama bijinya. Biji pinang yang kering sering dipakai sebagai bahan baku industri seperti campuran kosmetik, campuran permen serta zat pewarna alami pada kain dan kapas. Selain itu pinang juga mengandung zat antioksidan yang biasa digunakan untuk campuran obat-obatan seperti disentri, obat cacing, obat kumur dan lain sebagainya.
Pelepah pinang sendiri memiliki karakter material berserat, bertekstur kaku, kokoh tetapi ringan. Sayangnya, oleh masyarakat setempat pelepah Pinang dianggap tak memiliki nilai manfaat layaknya biji pinang. Dari situ Rengkuh mulai berpikir, bagaimana jika si pelepah pinang diubah menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis?
Dari riset di pekerjaan sebelumnya Rengkuh belajar bahwa bahan-bahan alam di Indonesia sudah umum digunakan sebagai kemasan pangan. Sayang, lambat laun penggunaan bahan alam semakin berkurang karena digantikan oleh plastik dan styrofoam.
Sebagai contoh lontong yang dulu pakai daun kini mulai dibuat dengan plastik, begitu juga dengan tempe daun yang lambat laun mulai jarang ditemukan karena berganti dengan kemasan plastik. Meski masih ada beberapa makanan yang masih menggunakan pembungkus daun namun intensitasnya bisa dikatakan sudah semakin berkurang.
“Harusnya hal-hal seperti itu bisa di-replay kembali sebagai bagian dari sesuatu yang solutif dan juga bisa dibuat jadi keren-keren juga gitu,” ujar Rengkuh kepada audiens.
Rengkuh di Astra Talk | dokpri/irerosana |
Kelahiran Start up Bernama Plepah
Berawal dari keresahan akhirnya Rengkuh mulai berpikir untuk membuat kemasan makanan yang lebih ramah lingkungan (eco friendly packaging) dengan memanfaatkan limbah pelepah pinang. Ia kemudian melakukan riset dengan dibantu organisasi Footlose Initiative di tahun 2018. Dari riset itulah lahir produk yang diberi nama Jenema Plepah.
Produk Plepah ini memiliki beberapa keunggulan di antaranya ramah lingkungan karena bisa terurai dalam 60 hari dan menjadi kompos. Produk ini juga bisa dipanaskan di microwave hingga 200 derajat celcius, mampu di oven selama 45 menit, tahan terhadap air dan juga sudah menjalani sterilisasi dengan sinar UV sebelum dipasarkan.
Contoh Produk kemasan Plepah | instagram Plepah : @plepah_id |
Selanjutnya ia mulai melakukan proses produksi meski saat itu masih dalam skala kecil. Ia bersama tim juga mulai melakukan mapping untuk mencari dan mengedukasi para petani agar mau mengumpulkan limbah pelepah pinang. Para petani juga dibekali pengetahuan mengenai kriteria dan kualitas pelepah yang bisa digunakan dan yang tidak.
Salah seorang petani bernama Jongcik mengaku mampu mengumpulkan limbah pelepah sebanyak 2 hingga 3 ton selama kurun waktu 3 bulan dari lahan seluas 7 hektar yang dimilikinya. Ia mulai tertarik mengumpulkan limbah pelepah pasca diberitahu mengenai nilai ekonomis yang bisa dihasilkan.
Pelepah yang Jongcik kumpulkan kemudian dipotong sesuai ukuran yang dibutuhkan baru kemudian dijemur. Setelah kering lalu diikat menjadi satu kesatuan baru kemudian dikumpulkan dan disimpah di gudang.
Pelepah-pelepah tadi dihargai 1000 hingga 1200 rupiah per kilogram. Nilai tersebut menurut Jongcik lebih baik ketimbang buah pinang yang hanya dihargai 800 rupiah per kilogramnya. Kalau dihitung-hitung dalam satu bulan, Jongcik mampu memperoleh pendapatan tambahan kurang lebih sebesar Rp. 700.000 hingga Rp. 1.200.000 dari limbah pelepah pinang.
Rengkuh bersama petani Pinang di pabrik Plepah | sumber : youtube CCN |
Pelepah dari para petani tadi kemudian dibawa ke lokasi produksi untuk proses lebih lanjut. Proses produksi sendiri meliputi beberapa tahap di antaranya pencucian, pengeringan, pencetakan dan yang terakhir sterilisasi.
Dalam satu bulan perusahaan rintisan ini mampu memproduksi 120 ribu unit kemasan itupun masih bisa ditingkatkan hingga 150 ribu unit. Dari unit-unit tersebut mereka mampu meraup omzet sebesar 200 hingga 300 jutaan perbulan.
Untuk proses produksi saat ini masih terfokus di 2 daerah yaitu Sumatera Selatan dan Jambi sementara pabrik yang ada di Cibinong Bogor kini hanya difungsikan sebagai warehouse dan shipment.
Tantangan dan Strategi Bisnis Plepah
Tak ada bisnis yang tak punya hambatan, begitupun Plepah. Dengan harga yang mereka tawarkan produk ini masih belum mampu bersaing dengan harga plastik dan styrofoam yang beredar dipasaran.
Pelanggan dalam negeri memang belum banyak, tapi ada. Salah satu contohnya rumah makan nasi peda pelangi yang lokasinya di daerah perkantoran Sudirman, Jakarta. Owner dari rumah makan ini memilih untuk menggunakan produk dari Plepah dengan alasan ingin lingkungan menjadi lebih baik.
Sayangnya masih sedikit pelaku usaha yang punya visi serupa. Faktor harga menjadi pertimbangan utama. Harga kemasan styrofoam berkisar antara 300 hingga 500 rupiah per pcs sementara produk kemasan Plepah masih di harga 2000 hingga 3000 rupiah per pcs. Bisa dibilang selisihnya cukup jauh. Inilah yang menjadi alasan produk Plepah masih kesulitan menembus pasar Indonesia secara lebih luas.
Meski begitu Tim Plepah tak kehilangan akal, ia mulai melirik ke pasar luar negeri dan akhirnya berhasil menemukan pelanggan dari negara-negara tetangga seperti contohnya Australia dan Jepang.
Upaya penetrasi ke pasar dalam negeri juga terus dilakukan, salah satunya adalah dengan menjalin kerjasama dengan aplikasi -aplikasi yang memberikan service delivery secara online.
Skemanya, saat pelanggan memesan makanan melalui aplikasi pada bagian akhir proses akan muncul pilihan, apakah mau menggunakan kemasan yang ramah lingkungan atau tidak. Jika memilih yang ramah lingkungan maka akan dikenakan biaya tambahan sebesar 1000 hingga 2000 rupiah.
Jadi alih-alih membebankan harga pada penjual, Plepah memilih untuk membebankannya kepada pembeli. Ide ini sekaligus menanggapi kebutuhan para customer yang sudah melek soal sustainable life. Mereka akan merasa nyaman dan tidak keberatan jika hanya menambah seribu atau dua ribu rupiah demi menjaga lingkungan agar lebih baik.
Meski berbagai upaya sudah dilakukan namun persoalan tingginya harga jual masih menjadi PR yang belum terselesaikan. Untuk persoalan yang satu itu Rengkuh dan tim berniat menerapkan strategi mass production atau produksi massal. Sayangnya strategi ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, karenanya Plepah selalu membuka peluang kerjasama dengan berbagai pihak luar.
Apresiasi Astra melalui Satu Indonesia Awards untuk Mendukung Anak Bangsa
Upaya yang dilakukan Rengkuh disambut baik oleh Astra, buktinya tahun 2023 lalu tim Plepah berhasil menjadi pemenang dalam program Satu Indonesia Awards kategori kelompok atas kontribusinya menciptakan produk kemasan yang sustainable.
Rengkuh berhasil membuat pelepah pinang yang tadinya tak bernilai ekonomis menjadi kemasan makanan ramah lingkungan yang bernilai jual. Tak hanya itu, para petani pinang juga mulai diuntungkan karena memperoleh sumber pendapatan baru dari limbah pertanian yang mereka setorkan.
Di sisi lain, kemunculan Rengkuh dan Plepah sebagai penyelamat lingkungan memberikan inspirasi kepada gen Z untuk mulai menghasilkan karya yang sustainable. Rengkuh berpendapat bahwa kesadaran masyarakat terhadap isu lingkungan mulai tumbuh seiring meningkatnya pengetahuan tentang bahaya sampah plastik dan styrofoam.
“Saya hepi dengan gen Z yang awarnessnya sangat besar terhadap isu-isu lingkungan sehingga tanpa ada edukasi yang intens mereka sudah sadar diri untuk membeli produk-produk seperti ini,” ungkap Rengkuh menanggapi pertanyaan seputar consumer behaviour dari host.
Dari seluruh perjuangan yang Rengkuh lakukan kita jadi belajar bahwa setiap dari kita bisa menjadi penyelemat lingkungan dan memberikan manfaat kepada sesama. Rengkuh juga menjadi bukti nyata bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain.
foto penulis bersama Rengkuh Banyu Mahandaru |dokpri/irerosana |
Referensi :
Rekaman Astra Talk bersama Rengkuh Banyu Mahandaru
Media sosial (instagram) @Plepah_id
Radio Republik Indonesia. (2024). “Pemerintah Catat Sampah Plastik di Laut Capai 12,87juta”. [online]. Link artikel :
https://rri.co.id/nasional/780217/pemerintah-catat-sampah-plastik-di-laut-capai-12-87-juta
Kompas. (2018). “5 Fakta Kematian Paus di Wakatobi, 5,9 Plastik di Perut hingga Ancaman Ekosistem Laut”. [online]. Link artikel :
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2023). “Komposisi Sampah”. [online]. Link artikel :
https://sipsn.menlhk.go.id/sipsn/public/data/komposisi
CNN. (2023, 29 Desember). “Peluang Berkah dari Limbah Pelepah”. [online video]. Link video:
https://youtu.be/LWSfxHUgec4?si=EVxwfeNVZaTIhueZ
Badan Pusat Statistik Jambi. (2022). “Pinang Jambi Go International”. [online]. Link artikel
https://jambi.bps.go.id/id/news/2022/08/11/244/pinang-jambi-go-internasional.html
Jimmy Oentoro Channel. (2024, 16 Oktober). “Krisis LIngkungan : Pertarungan Melawan Plastik”. [online video]. Link video :
https://youtu.be/FwBc4KZ2Z-M?si=LEDwYG6WnHoKLmLj
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. (2021). “Wadah Makanan Ramah Lingkungan dari Pelepah Pinang”. [online]. Link artikel:
https://kemenparekraf.go.id/ragam-ekonomi-kreatif/Wadah-Makanan-Ramah-Lingkungan-dari-Pelepah-Pinang
Halodoc. (2018). “Bahaya Makan dengan Menggunakan Styrofoam”. [online]. Link artikel:
https://www.halodoc.com/artikel/bahaya-sering-makan-dengan-menggunakan-styrofoam
Badan Pusat Statistik Jambi. (2022). “Luas Tanaman Perkebunan Menurut Jenis Tanaman (hektar) : 2018-2020”. [online]. Link artikel:
Comments
Post a Comment