Skip to main content

Singapore Jalur Backpacker (Part 2)





Transportasi ala Singapore



Hal pertama yang patut dibanggakan dari Singapura tentu saja akses transportasi yang mudah dan maju. Setelah berlabuh di Pelabuhan Tanah Merah dan menghabiskan banyak menit di bagian imigrasi, saya dan suami bergegas mencari minimarket terdekat untuk membeli Ezlink card untuk naik MRT dan Bis. Harganya 10 dollar  per kartu dan di dalamnya sudah termasuk isi 5 dollar. 

GTM ( General Ticketing Machine) bisa top up kartu di sini


Kami ke luar menuju halte bis yang berjarak sekitar 15 meter dari pintu ke luar. Berbeda dengan bandara Changi yang langsung terhubung dengan MRT, dari pelabuhan Tanah Merah, kami harus naik bis terlebih dulu untuk menuju ke stasiun Tanah Merah. 

St Tanah Merah


Hanya sekejapan kami sudah sampai di St Tanah Merah. Dari sana kami langsung menuju St Chinatown. Bagi yang sudah sering menggunakan Commuterline di Jakarta pastilah tidak kesusahan mengikuti alur MRT. Misalkan bingung bisa tanya ke petugas jaga atau orang lewat.  Supaya lebih mudah lagi, kamu bisa install beberapa aplikasi tanpa bayar dari play storemu seperti ; Singapore MRT, Singapore Offline MRT Map,dll sebagai panduan penggunaan MRT.  Cara mudah membaca Map MRT adalah perhatikan jalur warnannya. Misal kamu ingin ke stasiun Little India, di map, stasiun tersebut berwarna ungu dengan kode NE7 maka, kamu ikuti jalur petunjuk warna ungu dan naik MRT dengan kode NE berwarna ungu.

MRT Map ada di setiap stasiun

Menuju Gate


Hampir seluruh mobilitas kami di sana menggunakan MRT. Selain mudah juga murah. Tentu harganya jauh di bawah sewa taksi. Mapping sebelum berangkat juga sangat penting. Setidaknya untuk menentukkan letak paling strategis untuk menginap, tidak terlalu jauh dari stasiun dan dekat dengan beberapa titik penting seperti masjid, stasiun atau tempat tujuan tertentu. Saya memilih menyewa hostel di daerah Chinatown karena dekat dengan pusat belanja chinatown, merlion park, masjid dan St Chinatown.

Sejauh ini, kebanyakan backpacker lebih suka memilih hostel di daerah little India karena harganya cukup murah. Itu tak jadi soal asalkan kamu cukup punya banyak waktu. Untuk saya yang saat itu tengah diburu waktu, saya lebih memilih yang paling dekat dengan tempat-tempat yang akan saya kunjungi.

 Waktu yang kami miliki cuma 1 hari 1 malam. Sungguh waktu yang sangat tidak cukup sekalipun hanya untuk mencicip beberapa menu di Chinatown.

Pagi hari kemudian kami harus menuju USS dan menghabiskan hari di sana. Untuk ke sana kami berangkat menggunakan MRT dari St Chinatown yang kami tempuh dengan berjalan kaki menuju ke St Harbourfront. Sampai di St Harbourfront kami menyeberang ke Sentosa Island menggunakan Sentosa ekspress. Letaknya 3 lantai di atas St Harbourfront.  Tarifnya juga cukup murah, kalau tidak salah hanya 2 dollar.

Kurang dari 5 menit kami sudah sampai di Waterfront yang terletak tidak jauh dari pintu masuk USS. Di sana kami tak lagi perlu mengantri tiket, karena suami sudah membeli sebelumnya via online. Hitung saja harganya sekitar 500 ribu per orang. Ini tidak wajib, misalkan kamu ingin ke Sentosa tanpa masuk USS juga bisa. Ada pantai gratis yang menanti untuk dinikmati, atau bisa sekadar foto di depan simbol USS atau jalan-jalan di sekitar.

Di sana kami kecewa karena tak bisa menjajal seluruh permainan. Sepertinya kami butuh waktu sehari full dengan tiket khusus untuk  bisa menjajal seluruh permainan. Bayangkan, untuk 1 permainan transformer ride saja kami butuh mengantri 40 menit. Suami sudah mulai terlihat capek ketika mengantri namun kembali ceria setelah menyeleseaikannya. Katanya, “nggak percuma ngantri sejam.” Judul hari itu, “Yang Penting Suami Senang.” Ya jelas suami, wong istri ngajak foto di Far Far Away saja gagal karena panas.

Sehari semalam sudah kami makan tak layak, siang itu saya minta makan nasi, pokoknya nasi, lapar tak karuan dan benar-benar tak tahan. Harga makanan USS tentu tak cocok dikantong backpacker, kami menghabiskan 30 dollar, itu senilai 300ribu untuk 1 porsi nasi rendang tambah telur tanpa rasa dan 1 porsi nasi ayam tambah telur tanpa rasa plus gratis cola 2 gelas.

Makan siang ala USS


Pukul 2 kami keluar USS dan bergegas kembali ke stasiun agar tidak lebih kecewa karena terlambat check in seperti sebelumnya. Kami kembali menuju Harbourfront dengan Sentosa Ekspress. Dari sana kami mencari jalur hijau yang menuju ke St Tanah Merah. Kami sudah tak punya banyak waktu. Bahkan untuk berhenti sejenak dan membeli oleh-oleh di pasar. 

Perjalanan pulang menuju St Tanah Merah

Petunjuk peringatan di MRT :) LUCU


Perjalanan dari St. Harbourfront sampai St Tanah Merah adalah perjalanan MRT paling lama yang kami tempuh di sana. Di perjalanan kami berbincang mengenai biaya hidup di sana, kemudahan akses transportasi, jalanan yang teratur, toleransi antar sesama dan lain-lain. Sepertinya saya menangkap aroma keinginan untuk kembali berkunjung dari teman seperjalanan saya.

“Ehm... nggak pengen pindah kerja di sini aja?” kata saya menggoda tapi penuh harap.
“Eemmm....enggak dulu lah,” jawabnya. Yah, pendengar kecewa.

Btw kami menghabiskan kurang dari 10 dollar / orang untuk seluruh mobilitas di Singapura (di luar harga tiket kapal).

To be continue.... part 3

Part sebelumnya -> Singapore Jalur Backpacker (Part 1)

Comments

Popular posts from this blog

Sentilan Kumpulan Puisi Ublik Karya Ono Sembunglango

Puisi bukan hanya soal keindahan tata bahasa dan olah kata. Puisi mempunyai pencipta yang olehnya terdapat kedalaman rasa. Ini bukan soal data, tapi karya yang dilahirkan dari perpaduan antara kepekaan, perasaan mendalam dan kemampuan untuk menafsirkannya.  Setiap sastrawan melahirkan keresahan yang menyelubungi pikiran dan tubuhnya, sebagaimana Ono Sembunglango ketika melahirkan “Ublik” -yang merupakan kumpulan buku puisi pertamanya.  Meski bukan lahir dari daun lontar dan kertas Sinar Dunia, Ublik yang dikumpulkan melalui catatan media digital ini tetap menjadi sebuah catatan keresahan yang mewakili suatu masa. Pak Ono, mungkin begitu saja saya memanggilnya. Seorang yang saya temui dalam event blogger 2 Oktober 2024 lalu. Saya -yang bukan siapa-siapa dan baru dalam dunia blogger ini- tidak begitu banyak mengenal orang, dan saya tidak akan mengenal beliau andai kata teman sebelah saya tak menyebut kata Sutardji Calsoum Bahcri, sang maestro puisi mbeling. Ia bilang Sutardji ...

Mengendus Buku Jurnalisme di Luar Algoritma

Ada yang berubah dari wajah jurnalisme kita. Masyarakat di era ini membutuhkan kecepatan, berita harus diramu secara cepat kalau tidak mau ketinggalan. Tak dipungkiri wartawan kalah adu cepat dengan warga yang berada di tempat.  Soal kode etik mungkin mereka tak paham tapi kecepatan tentu tak diragukan. Siapa peduli dengan kode etik di jaman ini? Publik lebih menikmati video kejadian yang diambil para amatir dengan dalih originalitas. Soal akurasi tentu media juara, tapi kecepatan bisa jadi sebaliknya.  Sebenarnya hal seperti ini sudah bisa terendus dari belasan tahun lalu, saat di mana kemampuan handphone semakin di upgrade dan internet semakin dekat dengan masyarakat. Jurnalisme warga kala itu disambut sukacita sebelum pada akhirnya membuat tatanan dunia digital semakin chaos . Roma perubahan ini tentunya terendus media sedari lama, namun beda hal soal tanggapan. Ada yang bergerak cepat dan berupaya menyesuaikan diri tapi ada juga yang perlu lebih dulu mengkaji. Di luar cep...

Merayakan Ulang Tahun dengan Glamping di Puncak Bogor

  Laki-laki memang sulit ditebak. Dari sekian banyak tawaran hadiah ulang tahun yang saya tawarkan, suami justru memilih camping. Masalahnya, kami berdua bagai langit dan bumi, kutub utara dan selatan. Berbeda dalam segala hal termasuk memilih tempat liburan. Suami cenderung memilih tempat-tempat tenang, tidak banyak orang, dingin dan bisa beristirahat seperti camping dan hiking sementara saya lebih suka ramainya pasar, konser musik, serta wisata-wisata kota. Tapi karena ini soal hari jadi suami maka saya harus banyak-banyak mengalah. Yah bolehlah camping asal jangan dulu hiking . Sebenarnya sudah lama juga saya ingin menemaninya hiking tapi memang kondisi belum cukup baik dan saya belum berdamai dengan udara dingin. Kipasan satu jam saja saya tidak kuat apalagi menahan dinginnya gunung?! Lalu kami pun melakukan deal-dealan dan sampailah ke kata glamping. Istilah glamping belakangan cukup populer, bukan? Camping tapi glamor. Kalau camping kita masih harus repot-repot membawa...