Skip to main content

2017 dan Tetangga yang Lebih Buruk dari Rahwana



Oke. Ini tulisan pertama saya di tahun 2017. No resolution. No review. Malam tahun 2017 bergulir begitu saja. Setelah menikah banyak sekali hal dan kebiasaan yang berbeda. Bukan tidak lagi bergairah untuk merayakan, tapi merasa itu seperti hal yang kurang penting. Jadi tahun ini masih di bulan pertama saya menyadari banyaknya pending list -yang bahkan belum dirangkum dalam bentuk list- tak beraturan di dalam kepala. Terlalu banyak hal, terlalu banyak amunisi tapi sama sekali tak ada eksekusi.

Tapi tak masalah, ini masih hari pertama, bulan pertama. Masih banyak hari yang tersisa untuk mewujudkan pendingan tahun lalu. Eh, bukan. Tahun sebelumnya dan sebelumnya lagi yang belum terealisasi di tahun lalu. Jadi bahasa kawakannya, resolusi tahun ini adalah resolusi 3 tahun, 4 tahun dan beberapa tahun sebelum-sebelumnya.

Ini seperti penghianatan, atau sebutlah ketidakkonsistenan. Atau mungkin juga saya lelah, dan saya tidak menyadari bahwa saya lelah. Mungkin ada baiknya hidup begini-begini saja, apa adanya, jalani yang ada, tak perlu melawan, nikmati. Hm, tapi saya kembali, sering bergejolak.

Di luar hujan. Januari memang berhutang hujan kepada kita setiap hari. Tapi bagi saya itu  baik, setidaknya saya tidak terpikir untuk pergi kemana guna menghabiskan weekend ini. Suara rintikan hujan juga membantu membenamkan suara tetangga yang terlalu berisik.  Kau perlu tahu bahwa kami punya tetangga yang gemar sekali berteriak. Seperti seolah teriak adalah bagian dari napas hidupnya. Sepertinya tanpa berteriak dadanya sesak dan dia akan mati. Mungkin kau berpikir ini kejam, tapi sungguh kata-kata yang keluar dari mulutnya yang kotor jauh lebih kejam. Nah, kau tahu ketika aku mengetik kata ini, tepat kata yang kau baca ini, ia sedang tertawa keras. Terdengar seperti ejekan yang dikeras-keraskan, bahkan lebih buruk dari tawa rahwana. Tolong beritahu saya tawa tokoh antagonis yang paling tidak kau suka, itung-itung memberi input sebutan untuk dia. Lain waktu akan saya ceritakan betapa jahatnya orang itu.

Saya tidak membayangkan bahwa tulisan pertama saya tahun ini banyak berisi umpatan kepada orang yang tidak penting. Tapi yasudahlah. Hidup di masyarakat sebagai seorang yang dianggap dewasa dan punya tanggung jawab itu tidak mudah. Apa lagi jika kau kebetulan bertemu dengan orang yang tidak bisa diajak berdiskusi dengan kepala dingin. Itu adalah siksaan hidup terberat. Satu-satunya cara untuk menghindar adalah dengan membenamkan diri pada aktivitas-aktivitas yang lebih penting. Kau tahu, umpatan kepada seorang wanita itu masuk lewat di telinga, melalui kepala dan mengendap di hati. Maka tak heran awal-awal saya tak bisa tidur tujuh hari tujuh malam. Bukan karena takut mendengar teriakan, tapi saya menyesal menjadi dewasa jikalau harus berurusan dengan orang macam itu.

Kembalilah masa remaja yang indah!

OMG, saya tidak suka tapi saya harus bilang, mungkin salah satu resolusi tahun ini adalah menghindari orang-orang macam itu. Itu adalah resolusi  terburuk dan sama sekali tidak keren. Oke jangan kalah. Saya seolah menjadi kerani di film My Stupid Boss yang sumpah kehilangan titik sabar dan hanya ingin melempar bom molotov ke muka si bossman, atau membungkusnya ke dalam karung dan melemparkannya ke got.

Oke saya menjadi tak terkendali bila mengingatnya. Seperti yang tadi saya katakan, memperbanyak aktivitas yang lebih penting. Saya punya banyak pendingan buku baru yang belum dibaca. Dan sebuah kamera A6000 dari Kapten Tonton. He’s really a cute guy! Jadi mungkin bisa dimulai dengan memaksimalkan ke dua hal itu. Membaca sembari berguling-guling. Menjajal kamera, menonton review dan mencoba video editor mana yang pas dihati. Oke, cukup sekian dulu ya, akan saya teruskan setelah mendapat sebutan tokoh antagonis baru untuk orang itu.



Comments

Popular posts from this blog

Sentilan Kumpulan Puisi Ublik Karya Ono Sembunglango

Puisi bukan hanya soal keindahan tata bahasa dan olah kata. Puisi mempunyai pencipta yang olehnya terdapat kedalaman rasa. Ini bukan soal data, tapi karya yang dilahirkan dari perpaduan antara kepekaan, perasaan mendalam dan kemampuan untuk menafsirkannya.  Setiap sastrawan melahirkan keresahan yang menyelubungi pikiran dan tubuhnya, sebagaimana Ono Sembunglango ketika melahirkan “Ublik” -yang merupakan kumpulan buku puisi pertamanya.  Meski bukan lahir dari daun lontar dan kertas Sinar Dunia, Ublik yang dikumpulkan melalui catatan media digital ini tetap menjadi sebuah catatan keresahan yang mewakili suatu masa. Pak Ono, mungkin begitu saja saya memanggilnya. Seorang yang saya temui dalam event blogger 2 Oktober 2024 lalu. Saya -yang bukan siapa-siapa dan baru dalam dunia blogger ini- tidak begitu banyak mengenal orang, dan saya tidak akan mengenal beliau andai kata teman sebelah saya tak menyebut kata Sutardji Calsoum Bahcri, sang maestro puisi mbeling. Ia bilang Sutardji ...

Mengendus Buku Jurnalisme di Luar Algoritma

Ada yang berubah dari wajah jurnalisme kita. Masyarakat di era ini membutuhkan kecepatan, berita harus diramu secara cepat kalau tidak mau ketinggalan. Tak dipungkiri wartawan kalah adu cepat dengan warga yang berada di tempat.  Soal kode etik mungkin mereka tak paham tapi kecepatan tentu tak diragukan. Siapa peduli dengan kode etik di jaman ini? Publik lebih menikmati video kejadian yang diambil para amatir dengan dalih originalitas. Soal akurasi tentu media juara, tapi kecepatan bisa jadi sebaliknya.  Sebenarnya hal seperti ini sudah bisa terendus dari belasan tahun lalu, saat di mana kemampuan handphone semakin di upgrade dan internet semakin dekat dengan masyarakat. Jurnalisme warga kala itu disambut sukacita sebelum pada akhirnya membuat tatanan dunia digital semakin chaos . Roma perubahan ini tentunya terendus media sedari lama, namun beda hal soal tanggapan. Ada yang bergerak cepat dan berupaya menyesuaikan diri tapi ada juga yang perlu lebih dulu mengkaji. Di luar cep...

Merayakan Ulang Tahun dengan Glamping di Puncak Bogor

  Laki-laki memang sulit ditebak. Dari sekian banyak tawaran hadiah ulang tahun yang saya tawarkan, suami justru memilih camping. Masalahnya, kami berdua bagai langit dan bumi, kutub utara dan selatan. Berbeda dalam segala hal termasuk memilih tempat liburan. Suami cenderung memilih tempat-tempat tenang, tidak banyak orang, dingin dan bisa beristirahat seperti camping dan hiking sementara saya lebih suka ramainya pasar, konser musik, serta wisata-wisata kota. Tapi karena ini soal hari jadi suami maka saya harus banyak-banyak mengalah. Yah bolehlah camping asal jangan dulu hiking . Sebenarnya sudah lama juga saya ingin menemaninya hiking tapi memang kondisi belum cukup baik dan saya belum berdamai dengan udara dingin. Kipasan satu jam saja saya tidak kuat apalagi menahan dinginnya gunung?! Lalu kami pun melakukan deal-dealan dan sampailah ke kata glamping. Istilah glamping belakangan cukup populer, bukan? Camping tapi glamor. Kalau camping kita masih harus repot-repot membawa...