Skip to main content

She’s Back!


She's back! setelah sekian lama, tertatih-tatih saya mengojok-ojok'i perempuan ini untuk menulis kembali, finally....dia kembali. Sepertinya ia mengganti nama blognya menjadi semacam nama ilmiah tumbuh-tumbuhan, tapi biarlah asalkan ia senang. Mungkin ia lupa, dulu ketika ia berangkat untuk menjalani hidup baru sebagai abdi negara, saya pernah berkata, "kalau keberadaanmu di sana menjadikanmu impotensi menulis, saya orang pertama yang akan membullymu habis-habisan!" Semua itu terlontar akibat rasa kecewa yang teramat dalam. 

Mari kita putar waktu sebentar ke arah 2 tahun lalu. Saya berpindah ke Semarang, memilih bekerja dan kos yang letaknya tak jauh dari tempat tinggalnya. Kami berencana untuk bertemu setiap weekend, menghabiskan hari bersama dan perlaha-lahan menata mimpi kami, membangun media. Berjalan hanya sekian kali, hingga tiba-tiba berita itu datang. Ia diterima di salah satu instansi negeri dan diharuskan pindah ke pulau seberang. Baginya memang ini hak, tapi bagi saya kala itu terasa seperti sebuah penghianatan. Saya mungkin seorang teman yang payah, yang tak bisa mendorong sahabatnya untuk menuju ke kehidupan yang lebih baik. Tapi bagi saya, justru dengan mendorongnya mengambil pekerjaan itu, seperti mendorong sahabat sendiri ke jurang kehancuran. Orang boleh bilang saya picik, saya kejam karena menentang keras kepergiaannya, ditambah lagi memaksanya untuk terus menulis. Tapi orang tidak tahu, tidak merasakan bagaimana pikiran-pikirannya dulu, bagaimana ia memandang hidup dan menulis. Orang tidak merasakan rasa kehilangan yang teramat seperti yang saya rasakan.

Dan ketakutan itu terbukti. Ia enggan lagi menulis, tenggelam dalam kehidupan yang hedonis. Saya hampir menyerah, entah cara apalagi yang bisa dilakukan, hingga kemarin saya harus membuka hal yang selama ini enggan saya ceritakan. Dia bilang saat ini tulisan saya lebih bagus. Saya menampiknya. Yang benar adalah kami berbeda arah. Saya difiksi dan ia mahir dalam beropini. Ketika kami menjadi pupuk bawang di salah satu media lokal. Rekdaktur kami, Mas Arif, yang hidupnya tak seluwes tulisannya, berkata kepada saya," Kamu kalau nulis mau ke kota A kamu keliling dulu ke B C, kalau putri to the point." Tak heran artikel pertama mengalami perombakan hampir 50%. Makin ke sana saya menyadari di mana sebenarnya saya harus menulis dan akhirnya memutuskan mengundurkan diri dari ranah jurnalistik.

Masalah muter-muter dan njlimet ini memang pernah benar menghantui saya. Suatu ketika, ketika kenjlimetan benar-benar mengganggu, saya memutuskan ke kota sebelah mengetuk rumah salah satu penulis yang sudah meluncurkan puluhan buku untuk curhat, "Mbak, kenapa ya, saya kalau nulis kok muter-muter mbleber kemana-mana, susah fokus," saya kira si Mbak penulis yang baik hati itu akan menyalahkan tapi ternyata tidak. "Kamu baca AS Laksana?" tanyanya. Saya mengiyakan. “Tulisannya juga mbleber, tapi bagus, kan? Jadi ndak masalah yang penting terus menulis.” Yah, terkadang saya asal nekad seperti itu demi mencari ilmu.

Hari ini tiba-tiba indah sekali, karena si Endah mau kembali menulis. Walaupun saya tak mengharapkan ia banyak bercerita tentang saya. Saya memang bukan dari keluarga berpendidikan tinggi dan keluarga saya tidak memiliki hobi membaca apalagi mengoleksi buku. Saya paham Putri dan Mila, keduanya berasal dari keluarga yang tanggap pengetahuan. Ayah Putri yang masih suka membaca buku berat, dan Ayah Mila yang mempunyai koleksi buku yang tertata apik dan bahkan bernomor urut. Saya pernah minder dibuatnya. Saya memulai kecintaan membaca dan menulis dengan upaya sendiri, dengan akses minim dari salah satu SD di perkampungan yang tidak mempunyai perpustakaan. Tapi saya sadar, Tuhan menitipkan semangat untuk saya. 

Jadi sekalipun dulu sewaktu di LPM, saya dianggap gagal, dan ada Pimred yang menyebut dirinya terbaik sepanjang masa karena berhasil menerbitkan majalah tepat waktu, saya tidak terlalu peduli. Karena bagi saya, kesukesan tidak berhenti di 3 tahun masa jabatan dan selepasnya tenggelam entah ke mana. Sematan yang ia sebut untuk saya pun tidak benar-benar saya tanggapi mengingat ia bukan seorang yang membuat saya menyukai tulisan sedari kecil. Seperti itu pula ia tak berhak mengambil kecintaan saya akan menulis atas nama ‘kurang berkualitas.’ Kadang ketika pikiran sedang keruh, saya berharap mereka -yang menganggap diri bisa membuat tulisan yang berkualitas itu juga mendirikan suatu gerakan membaca untuk masyarakat. Karena percuma tulisan bagus tapi tidak ada yang baca, kecuali memang ditujukan untuk setan-setan. Kalau benar begitu, maka buatlah gerakan ayo membaca di kuburan.

Di timeline fb saya cukup banyak berseliweran tulisan-tulisan dari alumni LPM Ekspresi. Iri rasanya, ibarat keluarga, mereka terlihat sakinan, mawadah, warrahmah. Ibarat musik, mereka terlihat harmonis. Semua menyusun pemikiran yang apik dengan tulisan yang rapi meski hanya sebatas status sosmed. Bahkan, mantan anak litbang pun bisa menulis apik dan rapi. Setidaknya yang saya lihat seperti itu. 

Akhirul kata, terima kasih Putri, you just awesome! Saya tetap pemujamu. Saya orang yang akan selalu percaya bahwa perlahan kamu akan kembali menulis. Bukan untukku, tapi untukmu sendiri. 


Comments

Popular posts from this blog

Sentilan Kumpulan Puisi Ublik Karya Ono Sembunglango

Puisi bukan hanya soal keindahan tata bahasa dan olah kata. Puisi mempunyai pencipta yang olehnya terdapat kedalaman rasa. Ini bukan soal data, tapi karya yang dilahirkan dari perpaduan antara kepekaan, perasaan mendalam dan kemampuan untuk menafsirkannya.  Setiap sastrawan melahirkan keresahan yang menyelubungi pikiran dan tubuhnya, sebagaimana Ono Sembunglango ketika melahirkan “Ublik” -yang merupakan kumpulan buku puisi pertamanya.  Meski bukan lahir dari daun lontar dan kertas Sinar Dunia, Ublik yang dikumpulkan melalui catatan media digital ini tetap menjadi sebuah catatan keresahan yang mewakili suatu masa. Pak Ono, mungkin begitu saja saya memanggilnya. Seorang yang saya temui dalam event blogger 2 Oktober 2024 lalu. Saya -yang bukan siapa-siapa dan baru dalam dunia blogger ini- tidak begitu banyak mengenal orang, dan saya tidak akan mengenal beliau andai kata teman sebelah saya tak menyebut kata Sutardji Calsoum Bahcri, sang maestro puisi mbeling. Ia bilang Sutardji ...

Mengendus Buku Jurnalisme di Luar Algoritma

Ada yang berubah dari wajah jurnalisme kita. Masyarakat di era ini membutuhkan kecepatan, berita harus diramu secara cepat kalau tidak mau ketinggalan. Tak dipungkiri wartawan kalah adu cepat dengan warga yang berada di tempat.  Soal kode etik mungkin mereka tak paham tapi kecepatan tentu tak diragukan. Siapa peduli dengan kode etik di jaman ini? Publik lebih menikmati video kejadian yang diambil para amatir dengan dalih originalitas. Soal akurasi tentu media juara, tapi kecepatan bisa jadi sebaliknya.  Sebenarnya hal seperti ini sudah bisa terendus dari belasan tahun lalu, saat di mana kemampuan handphone semakin di upgrade dan internet semakin dekat dengan masyarakat. Jurnalisme warga kala itu disambut sukacita sebelum pada akhirnya membuat tatanan dunia digital semakin chaos . Roma perubahan ini tentunya terendus media sedari lama, namun beda hal soal tanggapan. Ada yang bergerak cepat dan berupaya menyesuaikan diri tapi ada juga yang perlu lebih dulu mengkaji. Di luar cep...

Merayakan Ulang Tahun dengan Glamping di Puncak Bogor

  Laki-laki memang sulit ditebak. Dari sekian banyak tawaran hadiah ulang tahun yang saya tawarkan, suami justru memilih camping. Masalahnya, kami berdua bagai langit dan bumi, kutub utara dan selatan. Berbeda dalam segala hal termasuk memilih tempat liburan. Suami cenderung memilih tempat-tempat tenang, tidak banyak orang, dingin dan bisa beristirahat seperti camping dan hiking sementara saya lebih suka ramainya pasar, konser musik, serta wisata-wisata kota. Tapi karena ini soal hari jadi suami maka saya harus banyak-banyak mengalah. Yah bolehlah camping asal jangan dulu hiking . Sebenarnya sudah lama juga saya ingin menemaninya hiking tapi memang kondisi belum cukup baik dan saya belum berdamai dengan udara dingin. Kipasan satu jam saja saya tidak kuat apalagi menahan dinginnya gunung?! Lalu kami pun melakukan deal-dealan dan sampailah ke kata glamping. Istilah glamping belakangan cukup populer, bukan? Camping tapi glamor. Kalau camping kita masih harus repot-repot membawa...