Skip to main content

Tentang Lelaki yang tak Menyukai Fiksi




Siapa dia? Belum juga aku bercerita orang sudah banyak bertanya. Dia lelakiku, seseorang yang kami perkirakaan sebagai belahan jiwaku. Dia partner yang sempurna, teman yang menyenangkan sekaligus pendengar yang baik. Bila kau tanya siapa orang terakhir yang menyemangatiku menulis, tentulah dia. Tapi, darinya aku belajar bahwa mendukung tidak selalu sama dengan menyukai. Itu bukan kemunafikan, itu pengorbanan.

Ya, instingku sebagai wanita yang membisikkannya. Dia mungkin bertanya, “bagaimana kau tahu?” lalu menambahkan keraguan dengan berucap,” kau yakin dengan itu?”. Kau tahu, tingkat kepekaan emosional seorang wanita jauh melebihi laki-laki. Mereka mampu membaca sinyal dan bahasa nonverbal. Jadi tak usah diperdebatkan darimana aku yakin soal itu. 

Meski dia menyukaiku tapi bukan berarti ia harus menyukai semua karyaku. Sedari awal kami menyadari adanya jurang tajam antara apa yang ia suka dengan apa yang aku suka, apa yang ia minati dengan apa yang aku minati dan bagaimana aku berpikir dengan bagaimana dia berpikir. 

“Apa bagusnya fiksi?” begitu perkiraanku mengenai apa yang ada di otaknya. Fiksi itu membuang-buang waktu. Mengapa harus ada bulan yang menari-nari, lalu pagi yang tersenyum penuh hangat, senja dengan raut sendu, itu bualan. Itu khayalan yang sama sekali tidak urun penyelesaian atas permasalahan hidup manusia. Itu yang lagi-lagi aku perkirakan ada di pikirannya. Sayang ia terlalu baik untuk berkata jujur. Apalagi ia akan selalu teringat terakhir kali kami berdiskusi mengenai tulisan dan aku terisak. Tentu ia tak ingin hal itu terulang. 

Shakespeare pernah mengibaratkan tingkat sensitivitas seorang wanita dengan berkata, “hell hath no fury like a woman scorned”, neraka tidak marak seperti ketika wanita dicemooh. Dari kacamata pria, wanita acapkali dianggap makhluk unik yang susah dimengerti. Tak pernah salah dan tak pernah mau mengalah. Tapi kali ini lain, dengan sedikit bumbu kecewa aku menerima perbedaan itu. 

Tentu aku akan melakukan pembelaan. Ketika dia bertanya, “apa bagusnya kau merangkai kata dengan hiperbola seperti itu?” maka aku akan menjawab. “Mas, tidak semua hal di dunia ini bisa diutarakan dengan rumus logika dan matematika yang kaku itu.”

Dia akan membalas mendetail dengan bertanya,”contohnya?” 

“Oke, contohnya begini, coba Mas jelaskan apa arti dari ‘aku cinta kamu’?”

“Aku cinta kamu, aku bersedia menjadi pendamping hidupmu, memenuhi segala kebutuhan bulananmu, kita punya rumah, punya anak, ya cinta seharusnya seperti itu,” katanya penuh keyakinan.

“Owh gtu.” Aku mengangguk-angguk.

“Aku merasa cinta sama kamu semenjak detik pertama aku mendengar suara halo darimu untuk menenangkanku tanpa kutahu bagaimana keadaanmu di sana. Mungkin masih menenteng tas kerja, mungkin perutmu sedang keroncongan, mungkin kau harus kehilangan waktu bersama teman-temanmu. Aku merasa semakin cinta sama kamu ketika kamu berusaha menahan seluruh aktivitasmu demi menungguiku menyelesaikan cerita yang mungkin tak terlalu penting untukmu. Dan aku merasa benar-benar cinta kamu karena kau selalu menjadikan semua angan-anganku menjadi nyata.” 

“Tuh kan kamu nggombal lagi,” ucapmu sembari tertawa.

“Bukan gitu, tapi aku merasa ada beberapa hal dalam hidup ini yang akan terasa lebih hangat ketika kita ungkapkan secara hiperbola.”

Dia akan selalu mengiyakan apapun yang menjadi keinginanku, termasuk membuatku menang dalam perdebatan. Apapun cara yang dilakukannya, sebenarnya dia sudah memenangkan hatiku, jauh sejak dulu.
Hai, saya Ire. Bagi saya hidup adalah lifelong learning, pembelajaran yang tiada akhir. Melalui blog ini mari sama-sama belajar sembari sesekali bercerita mengenai kisah perjalanan hidup yang sudah saya lewati :)

Comments