Siapa dia? Belum juga aku bercerita orang sudah banyak bertanya. Dia lelakiku, seseorang yang kami perkirakaan sebagai belahan jiwaku. Dia partner yang sempurna, teman yang menyenangkan sekaligus pendengar yang baik. Bila kau tanya siapa orang terakhir yang menyemangatiku menulis, tentulah dia. Tapi, darinya aku belajar bahwa mendukung tidak selalu sama dengan menyukai. Itu bukan kemunafikan, itu pengorbanan. Ya, instingku sebagai wanita yang membisikkannya. Dia mungkin bertanya, “bagaimana kau tahu?” lalu menambahkan keraguan dengan berucap,” kau yakin dengan itu?”. Kau tahu, tingkat kepekaan emosional seorang wanita jauh melebihi laki-laki. Mereka mampu membaca sinyal dan bahasa nonverbal. Jadi tak usah diperdebatkan darimana aku yakin soal itu. Meski dia menyukaiku tapi bukan berarti ia harus menyukai semua karyaku. Sedari awal kami menyadari adanya jurang tajam antara apa yang ia suka dengan apa yang aku suka, apa yang ia minati dengan apa yang aku minati dan bagaimana