Skip to main content

Siapa Diri Saya Ketika Menulis?





Saya tengah mengambil jeda dari proyek mini #sepasangide. Awalnya saya kira writers block, tapi sepertinya bukan.  Saya bisa saja memaksakan diri menulis dan menyelesaikan hutang tulisan, tapi saya justru memilih untuk mengambil jeda. Menyalahkan kesibukan itu klise. Bukankah dari awal saya memang sudah terkenal sibuk? 

Makin ke sini saya jadi punya banyak definisi menulis. Yang awalnya bermakna seperti mengikat kenangan, mengurai keresahan, menyampaikan gagasan, dan terakhir saya menemukan definisi lain dari menulis yaitu proses mengenali diri sendiri. Sampai pada titik itulah saya mengambil jeda. Seolah seluruh usaha yang selama ini dibangun, melambung tinggi, terbanting ke tanah dengan kecepatan penuh. Saya merasakan getir yang teramat sangat. 

Banyak pertanyaan yang muncul -dan saya kurang tahu apakah model yang seperti ini termasuk ke dalam kategori writers block. Pertanyaan yang membuat saya cukup tercenung, bertafakur lama. ‘Apa tujuan saya menulis’?, ‘siapa diri saya ketika menulis’? cukup 2 pertanyaan dan mampu menggiring saya kepada ingatan lalu. Saya teringat kata-katanya dulu, “jadilah dirimu sendiri,” betapa saya suka melawan kata-katanya yang mencoba meruntuhkan usaha dan semangat saya. Saya bangun tembok raksasa untuk menutup diri dari segala macam kritik –yang memungkinkan untuk menenggelamkan kreatifitas saya.

Siapa diri saya ketika menulis? Sudahkah saya menjadi diri saya sendiri? Apa adanya dan melakukannya dari hati? Lalu di mana letak materi dan ilmu yang harus terbubuh dalam setiap tulisan? Seharusnya dua hal itu sudah menyatu, namun saya masih mendapatinya terpisah. Dan pertanyaan pertama belum terjawab. Siapa diri saya ketika menulis? Pertanyaan itu harusnya terjawab dari output yang saya suguhkan. Namun output itu seperti kabur, dan beraneka warna. Dan pertanyaan itu belum terjawab. Hingga saya mengetik sampai dengan kata terakhir ini, saya masih belum bisa menjawab. 

Jadi, saya mengambil jeda. Sebentar saja. Karena waktu enggan menunggu, saya tak bisa berlama-lama. Saya mengambil jeda sebentar, untuk memahami kehampaan diri –yang mungkin tak akan pernah saya temui jawabnya hingga mati. 

Kau tahu, diam-diam saya bahagia dengan keruwetan ini. Artinya, saya berada pada tahap pemahaman diri. Tahapan paling sulit melebihi pemahaman tentang isi dunia ini. Saya harus pelan-pelan dan bersabar, membimbing diri ini ke arah itu. Di mana semua kunci terbuka, semua tanya terjawab dan yang tersisa adalah ‘memahami’. Kau harus tahu, tak ada yang lebih menentramkan melebihi ketika kita memahami sesuatu. 

Siapa diri saya ketika menulis? Tentu adalah diri saya sendiri, namun, saya perlu tahu siapa diri saya. Setelahnya, bawa terus ‘hati’ pada apapun yang saya lakukan. Jika bertentangan, tinggalkan!

Comments

Popular posts from this blog

Sentilan Kumpulan Puisi Ublik Karya Ono Sembunglango

Puisi bukan hanya soal keindahan tata bahasa dan olah kata. Puisi mempunyai pencipta yang olehnya terdapat kedalaman rasa. Ini bukan soal data, tapi karya yang dilahirkan dari perpaduan antara kepekaan, perasaan mendalam dan kemampuan untuk menafsirkannya.  Setiap sastrawan melahirkan keresahan yang menyelubungi pikiran dan tubuhnya, sebagaimana Ono Sembunglango ketika melahirkan “Ublik” -yang merupakan kumpulan buku puisi pertamanya.  Meski bukan lahir dari daun lontar dan kertas Sinar Dunia, Ublik yang dikumpulkan melalui catatan media digital ini tetap menjadi sebuah catatan keresahan yang mewakili suatu masa. Pak Ono, mungkin begitu saja saya memanggilnya. Seorang yang saya temui dalam event blogger 2 Oktober 2024 lalu. Saya -yang bukan siapa-siapa dan baru dalam dunia blogger ini- tidak begitu banyak mengenal orang, dan saya tidak akan mengenal beliau andai kata teman sebelah saya tak menyebut kata Sutardji Calsoum Bahcri, sang maestro puisi mbeling. Ia bilang Sutardji ...

Mengendus Buku Jurnalisme di Luar Algoritma

Ada yang berubah dari wajah jurnalisme kita. Masyarakat di era ini membutuhkan kecepatan, berita harus diramu secara cepat kalau tidak mau ketinggalan. Tak dipungkiri wartawan kalah adu cepat dengan warga yang berada di tempat.  Soal kode etik mungkin mereka tak paham tapi kecepatan tentu tak diragukan. Siapa peduli dengan kode etik di jaman ini? Publik lebih menikmati video kejadian yang diambil para amatir dengan dalih originalitas. Soal akurasi tentu media juara, tapi kecepatan bisa jadi sebaliknya.  Sebenarnya hal seperti ini sudah bisa terendus dari belasan tahun lalu, saat di mana kemampuan handphone semakin di upgrade dan internet semakin dekat dengan masyarakat. Jurnalisme warga kala itu disambut sukacita sebelum pada akhirnya membuat tatanan dunia digital semakin chaos . Roma perubahan ini tentunya terendus media sedari lama, namun beda hal soal tanggapan. Ada yang bergerak cepat dan berupaya menyesuaikan diri tapi ada juga yang perlu lebih dulu mengkaji. Di luar cep...

Merayakan Ulang Tahun dengan Glamping di Puncak Bogor

  Laki-laki memang sulit ditebak. Dari sekian banyak tawaran hadiah ulang tahun yang saya tawarkan, suami justru memilih camping. Masalahnya, kami berdua bagai langit dan bumi, kutub utara dan selatan. Berbeda dalam segala hal termasuk memilih tempat liburan. Suami cenderung memilih tempat-tempat tenang, tidak banyak orang, dingin dan bisa beristirahat seperti camping dan hiking sementara saya lebih suka ramainya pasar, konser musik, serta wisata-wisata kota. Tapi karena ini soal hari jadi suami maka saya harus banyak-banyak mengalah. Yah bolehlah camping asal jangan dulu hiking . Sebenarnya sudah lama juga saya ingin menemaninya hiking tapi memang kondisi belum cukup baik dan saya belum berdamai dengan udara dingin. Kipasan satu jam saja saya tidak kuat apalagi menahan dinginnya gunung?! Lalu kami pun melakukan deal-dealan dan sampailah ke kata glamping. Istilah glamping belakangan cukup populer, bukan? Camping tapi glamor. Kalau camping kita masih harus repot-repot membawa...