Tengah hari di bulan juni tak pernah mau bersahabat. Raut
pengendara motor semakin tertekuk mendapati hitungan lampu merah masih diangka
54. Di trotoar, beberapa orang karyawan pabrik terlihat gelisah dan serempak menutupi
wajah masing-masing dengan tangan. Beberapa lainnya mengumpat, menyesali
keputusan keluar dari ruang kerja yang nyaman dan sejuk. Raut mereka kusut, keringat
mengucur dari pelipis, ketiak dan punggung. Panas terik telah berhasil mengubah
aura wajah dan emosional seseorang.
Dari arah selatan,
segerombolan gadis berpakaian kerja terlihat melangkah ke luar gerbang salah
satu dealer mobil ternama. Langkah mereka seperti diburu ketika melewati gerobakku
yang sedari beberapa hari lalu masih terparkir di gang sebelah dealer. Ada yang
berusaha menahan napas dan seolah tak mencium bau apa-apa, ada yang tak
segan-segan menutup hidung dengan 2 tangan disertai bermacam umpatan, “Ugh!”,
“Arrggh!” dan ada juga yang terlihat sekuat tenaga menahan muntah.
Aku tak heran, awal pertama aku mendorong gerobak itu pun
begitu. Telur busuk bercampur dengan sambal kacang yang sudah basi, aroma susu
basi, sayuran sisa, kaleng sarden, bungkus sate, botol minuman berenergi,
pembalut wanita, tulang belulang ikan yang sudah mengendap berhari-hari komplit
dengan lalat, dan segala macam sampah yang tak lain adalah dari mereka sendiri.
Segala bau dan barang itu beradu menghasilkan aroma bacin, amis yang membuat
orang susah menahan muntah. Awalnya aku butuh kain atau masker bekas untuk
menutup penciumanku. Namun lambat laun, bau-bau itu dengan sendirinya akrab melewati
bulu-bulu hidungku.
Kubiarkan orang-orang memandang jijik gerobak usang itu. Sungguh
benar tak usah heran, pemandangan seperti itu sudah kunikmati hampir belasan
tahun lamanya. Lebih tepatnya, 11 tahun 5 bulan, jika aku tak salah hitung.
Manusia-manusia penghasil sampah tapi anti sampah. Beuhhh! Munafik!
Pekerjaanku itu bermula dari kematian Kang Kelik, orang
yang merawatku sejak kecil dan - yang kutahu - sebagai satu-satunya keluargaku.
Sebelumnya aku tak pernah menyentuh sampah, lagi pula Kang Kelik lebih suka melihatku
pergi ke Taman Belajar Mandiri milik Bu Etik dibanding harus bergelut dengan
tumpukan bau. Kang kelik bilang,” kelak aku akan menjadi orang”. Mungkin Ia
pikir aku ini monyet yang belum bisa menghasilkan apa-apa dan hanya bisa berteriak
menadah makan ketika lapar. Tapi biarlah, bagaimanapun ia kerap membawa
bingkisan berisi nasi dan paha ayam yang masih utuh. Katanya, sisa dari restoran
cepat saji dekat perbatasan.
Lalu, Kang kelik pergi selama-lamanya. Seorang putra pengacara
terpandang milik kota ini telah menabrakkan sedan merahnya ke tubuh kurus kering
itu. Kata orang, Ia terpental 15 meter dengan darah melambah-lambah dan mati di
tempat. Umurku saat itu baru 8 tahun.
Semenjak itulah aku menjadi tukang sampah untuk menyambung
hidup. Awalnya kupikir aku hanya butuh makan dan tak butuh Kang Kelik, tapi
sesekali aku pernah benar merindukannya.
Oh ya, orang biasa memanggilku Popo. Kulitku yang gosong
mengingatkan mereka dengan tokoh Mr. Popo di serial kartun Dragon Ballz. Sebenarnya nama asliku Bagus. Bukan aku sedang
memuji, tapi memang namaku benar Bagus, BE-A-GE-US. Entah dari mana nama itu,
yang jelas hanya Kang Kelik selalu memanggilku Bagus, dan hingga dia mati aku
lupa menanyakan siapa gerangangan yang memberikan nama itu. Aku bahkan belum
tahu asal usulku sebenarnya. Rencana, aku akan tanya ketika umurku menginjak 9
tahun, tapi Kang Kelik lebih dulu mati. Tau begitu aku akan mengubah rencanaku.
Kupikir, pekerjaanku itu akan segera berakhir. Bulan lalu
Bang Jo - pemilik warung Bakso Kondang- menawariku pekerjaan. Itu hal yang
sudah lama aku impi-impikan. Warung Kondang tenar di antara kami, para pekerja
kasar. Biarpun sekadar warung namun -yang kudengar dari beberapa orang-
pendapatannya mencapati 5-6 juta rupiah per hari. Karyawannya berjumlah 15,
gaji mereka bekisar antara 25 ribu hingga 50 ribu rupiah per hari, tergantung
ramai atau sepi.
Sudah girang bukan kepalang aku kala itu. Mimpi untuk menjauhi
sampah dan mendapat gawean yang lebih
layak sudah di depan mata. Setidaknya aku tak lagi bergelut dengan bau. Setelahnya,
akan kuberanikan diri untuk menyapa Yian -anak penjaga pasar- secara langsung. Selama
ini Aku tak pernah membiarkan Yian mengenal tubuhku yang kotor dan bau. Dan
kelak, saat Yian sudah menjadi Istriku, akan kuceritakan semua. Aku yakin, Dia
pasti mau mengerti.
Belum genap seminggu aku bermimpi, pasar di mana warung
itu berdiri sudah habis dilahap api. Bang Jo yang kala itu berlari panik hendak
menyelamatkan harta bendanya mati tertimpa kayu panas sehari setelah bermalam
di rumah sakit.
Peristiwa itu tak hanya mematikan aktivitas warga,
menelan senyum pedagang ikan yang tiap hari menyumbang sampah dengan bau paling
menyengat, namun juga meruntuhkan kebahagiaan Yian. Tentu bukan karena
kehilangan harta maupun dagangan, senyumnya lenyap seiring ayahnya yang sering
menghilang dan mabuk-mabukan.
Kudengar beberapa warga sering membicarakan ayahnya,
bahkan aku sendiri memang pernah - tanpa sengaja - mendengarnya.
“Aaahhh kasus seperti ini sudah lagu lama, ini pasti setting-an!” Pekik pria bertubuh gembul
sebelum tangannya sigap menyomot tahu petis di warung Bu Tun.
“Kemana lagi si Parjo, si tukang jaga itu?! Kenapa bisa
sampai habis dagangan kita di makan api?!” Tambah pria lain di sebelahnya.
“Jangan-jangan sekongkol dia sama orang-orang atas! BAHH!”
umpat pria ke tiga.
“Hush! Kalau ngomong jangan sembarangan, nanti bisa jadi
fitnah, ora elok!” sergah Bu Tun.
Suasana menjadi hening. Mereka saling pandang. Sepaham
dalam diam.
Beruntung ini telinga bukan milik calon mertuaku itu.
Atau mungkin telinga orang tua itu sudah lebih dulu mendengar ocehan-ocehan
semacam, hingga ia tak berani lagi menemui orang.
Aku tahu pasar itu memang benar sengaja dibakar, karena
aku melihatnya. Sehari sebelum kejadian,
ketika riuh pasar berangsur sepi oleh tenggelamnya matahari, aku melihat
sesosok pria berjaket gelap membawa jerigen dan menaruhnya tepat di depan kios
Pak Rusman, sang ketua Himpunan Pedagang pasar.
Pagi setelahnya Pak Rusman kelihatan gusar. Yang kudengar
dari orang, sudah 3 hari ini Pak Rusman bertanya ke kios-kios sebelahnya
terkait jerigen berisi bensin yang ada di depan kiosnya. Namun, nihil. Tak seorang pun mengaku sebagai
si-empunya.
Kini Pak Rusman yang malang itu harus menginap di Rumah
sakit karena jantungnya yang lemah.
Kabar dari orang yang menengok, ia masih suka gelisah sembari sesekali
menitihkan air mata bila mengingat kobaran api yang merenggut pendapatan
ratusan orang di malam naas itu. Ia
menyalahkan dirinya karena tak mengindahkan teror misterius berupa sms dan
jerigen bensin yang ia terima hari-hari sebelumnya.
Lalu calon mertuaku?
Si tua itu tengah meneguk Congyang murahan di belakang Sekolah Dasar.
Wajahnya lusuh, semangatnya surut. Kiprahnya sebagai penjaga pasar runtuh. Aksi
heroik menangkap basah pencuri yang berniat membobol kios elektronik sebulan
sebelumnya pun tak lagi berarti. Tak
cukup untuk menebus seluruh kerugian atas kobaran api itu. Pula tak bisa menghentikan bisikan
orang-orang yang membuat panas telinganya.
Dan Yian? dia akan menangis saat Bapaknya pulang dalam
keadaan sempoyongan. Sudah baik setengah tahun ini Bapaknya tak pernah lagi
kumpul dengan komplotan Gundul dan kawan-kawannya. Ia juga tak lagi pulang
dalam keadaan mabuk seperti tahun-tahun sebelumnya. Wajar bila hati Yian
semakin tersayat melihat Bapaknya kembali mabuk-mabukan.
Aku, aku bisa merasakan sayatan itu. Aku bisa merasakan perihnya setiap air mata
yang ia jatuhkan. Dan hanya aku yang tahu, bukan orang lain. Seperti halnya
hanya aku yang tahu dan melihat dihari terakhir orang itu menaruh jerigen. Aku
paham betul rupanya, namun aku tidak kenal pun melihat sebelumnya.
Selama ini orang hanya menganggapku bagian dari sampah,
tapi mereka tak tahu, sebenarnya akulah yang tahu semuanya.
Jangan menganggapku pengecut karena menyimpan rahasia ini
sendirian. Aku tak sepengecut itu! Aku
sudah berusaha memberi tahu Pak Rusman tapi dia tak mau mendengarku.
“Ha he ha he! Apa?! Minta makan!?” Pekiknya kala itu.
Aku menggeleng, masih berusaha bersuara sebisaku. Tanganku
berusaha membuat bentuk orang, lalu bentuk kotak kemudian telapakku mengepal
dan mempraktekkan adegan menjinjing dan menaruh. Pak Rusman tak paham dan
justru semakin terusik. Ia mengeluarkan satu lembar sepuluh ribuan dan
mengusirku. Aku berusaha kembali namun Pak Rusman semakin gencar mengusir.
“Dasar bisu!!” umpatnya. Aku pun menyerah.
Di hari yang sama, malam selepas Isya’, orang-orang
berteriak sembari berlarian menuju pasar.
“Kebakaran...!! Pasar kebakaran.....!!”
terdengar suara teriakan semakin riuh. Aku melempar sendal jepit rusak yang
rencananya akan kuperbaiki dengan kawat dan ikut berlari menuju pasar tanpa
alas kaki.
Melihat kobaran api merah sedang melahap bangunan pasar,
aku ikut panik. Kubenamkan diri di tengah orang-orang yang berlarian untuk
mengamankan dagangan. Aku membantu seorang Ibu yang tergopoh kesulitan mengangkut
kardus berisi sembako. Sudah hampir 30 menit berlalu, Damkar belum juga muncul.
Warga sekitar berlarian membawa air sebisa mereka dan melemparkannya ke
beberapa titik.
Tak kukenal lagi mana pemilik mana penolong dan mana
penjarah, semua beradu cepat mengambil barang-barang yang masih bisa
diselamatkan. Ketika hendak masuk
kembali, seseorang sengaja menubrukku hingga aku terkulai. Kepalaku membentur
tepian lantai. Kurasakan pusing dan nyeri dibagian dada. Aku berusaha bangkit
namun kembali jatuh sesaat setelah sebuah benda tumpul melibas tengkukku. Aku
terkapar. Tak sadarkan diri. Masih
kurasa kesadaran terakhirku ketika panas menjalar ke seluruh tubuhku. 5 detik
sebelum aku benar-benar tak pernah lagi sadar, kulihat api menyala disekujur
tubuhku.
Tak ada yang tahu cerita sebenarnya. Cerita ini
kutitipkan kepada kalian sebelum rohku benar-benar pergi tanpa menyimpan
ingatan.
Comments
Post a Comment