Yang pertama kali terlintas dalam benak saya ketika
mendengar kata Jakarta tentulah, macet, banjir, padat , bising dan segala
kengerian yang sering dikumandangkan oleh media berita nasional. Memang bayangan lebih sering menakutkan
ketimbang kenyataan. Mungkin begitu pula yang terjadi pada saya, paranoid
dengan Jakarta padahal belum pernah menjamah kembali semenjak berpuluh – puluh tahun silam.
Nama Jakarta kembali terasa dekat dengan telinga ketika
salah seorang teman saya yang bernama Viki berulang kali meluncurkan kata
tersebut dari kedua bibirnya. Viki adalah seorang wanita (nggak nyangka, kan?)
yang menggemari klub bola Persija alias jakmania. Sesuai warna andalan orange, ia pun gemar mengoleksi baju
dengan warna orange. Bahkan ia menghabiskan sebagian besar gajinya
untuk membeli kaos Persija dan membeli tiket ke Jakarta guna menyaksikan
langsung pertandingannya. Tak berhenti
di situ, Viki juga kerap memacari beberapa pemain cadangan dan suporter-suporter
Persija. Entah karena apa namun mungkin itulah alasan utama mengapa ia amat
menggemari kota asal Macan Kemayoran tersebut.
Sering berlalu-lalang dengan segala judul Jakarta,
mengharuskan ia untuk menggemari segala sesuatu berbau Jakarta. Bahkan Viki
pernah berikrar bahwa ia akan menetap dan menikahi orang Jakarta.
“Apa enaknya tinggal di Jakarta Vik? Sana itu kan macet
banjir pulak,” kata saya menanggapi.
Tentu Viki yang sedang kasmaran dengan Jakarta tidak
menggubris kata-kata saya. Dari sekian banyak kota kenapa harus Jakarta? Pikir
saya. Prinsip Viki tentu bertolak belakang dengan prinsip saya yaitu ‘bersedia
bertempat tinggal di mana saja asalkan bukan JAKARTA’. Itu simple banget kan? Permintaan saya nggak neko-neko, Kan?
Tapi semua berubah ketika saya punya pacar yang tidak
saya tahu di mana tinggalnya (suer kala itu saya benar tidak tahu ia bermukim
di mana) Lhoh kok bisa kenal Re? Iya, teman lama, ya gitu deh ceritanya. Lagian itu karena si Mimil yang gagal
mencari tahu segala sesuatu tentang gebetan saya itu (Lhoh kok nyalahin
Mimil?!) Berisik! Suka-suka saya!
“Mil, Lu mantan Pimred masa nyari tahu tentang si
Mas....(teeett, sensor) itu aja nggak bisa?!
“Yee..lu juga mantan Pimred kaleee, coba cari sendiri
kalau bisa!Lagian naksir orang nggak modal informasi banget sih Lu!” balasnya
pedas tanpa dosa.
Dan hal yang paling saya sesalkan adalah menceritakan segala
perasaan saya ke Mimil. Walhasil, si Mimil yang gemar berceloteh itu bercerita
kepada suami tercintanya soal perasaan saya. Dan yang paling paling membuat
saya enggan menceritakaannya di sini adalah bagian... emmm...ceritain nggak ya?
Oke jadi ceritanya begini, Suami Mimil ternyata kenal dekat dengan gebetan
saya!
“AAAAAAAArrrrgggggg.....!!!! Tolong pohon cabeee aku mau
gantung diriiiii....!” teriak saya begitu telfon saya tersambung ke Milmil.
Tanpa dosa Mimil terdengar menahan tawa parahnya.
Tanpa ampun saya kirim seluruh kata cemas, umpatan,
bingung ke Milmil. Ia masih mencoba menjawab tapi gagal karena menahan tawa
yang sedari tadi siap meledak.
“Siapa Mil?” suara pria di balik tawanya. Owh damn! Itu suaminya (yang baru saja tahu
segala sesuatu tentang saya - yang lagi kasmaran sama temennya- dan itu
gara-gara Mimil).
“Jadi suamimu baca bbm-an kita?” tanyaku kemudian.
“Enggak, udah tak hapus kok,” balas Mimil menghindar.
“Bohong!”
“Beneran!”
“Bohooonnggg...!” kembali suara teriakan saya beradu
tangis (saking malunya) dan Mimil kembali terkekeh menahan tawa berat.
Yah begitulah cerita yang tak patut diceritakan tapi saya
ceritakan. Akhirnya, dari suami Mimil saya tahu beberapa hal tentang gebetan
saya kecuali dia tinggal di mana!
Kembali ke Jakarta. Lalu waktu kami sudah sepakat hidup
bersama (eh, maksudnya pacaran) saya dengan tanpa malu tanya “Mas tinggal di
mana si?” Ã (Kamu pernah bayangin seorang pacar tanya ke pacarnya
tinggalnya di mana nggak sih? Nah,
sekarang bayangin aja!)
“......bla..bla...di Jakarta,” balasnya. What? Dari sekian banyak kota di
Indonesia, Jogja, Makasar, Manado, Palembang, Bali, Surabaya, kenapa dia harus
bilang ‘JAKARTA’ coba?! Owh, saya berasa kena karma!
Pilihan saya cuma dua, saya jangan nikah sama ini orang,
atau saya ubah mindset dari anti Jakarta
jadi Jakarta lover. Sayangnya
pilihannya cuma 2 itu. Karena ia menawari dengan baik hati apakah saya mau
tinggal di Jakarta bersamanya kelak saya pun jadi luluh, hiks (aslinya adalah karena
kesengsem tingkat Dewa). Masa’ iya saya harus merelakan orang yang saya sayangi
demi keegoisan semata? (Duh, bahasanya...)
Begitulah cerita asal muasal mengapa saya jadi respect dengan Jakarta. Jadi jangan
heran bila menemukan status-status saya yang berbau ‘I Love Jakarta’ atau ‘
Jakarta, tunggu saya!’ atau yang paling lebay masang lirik lagu Sheila on 7
yang ‘Ku Tunggu di Jakarta’. Jangan heran juga kalau akhir-akhir ini saya sering
ngintip harga-harga tiket kereta dan pesawat ke Jakarta.Owh, ternyata cinta tak
cuma merubah tai kucing rasa cokelat, tapi juga mengubah kota Jakarta yang
banjir dan macet menjadi jalanan yang lengang dan indah di mata saya. Suka sama
orangnya bisa membuat kita demen juga sama Kota tempat tinggalnya ya ternyata.
Siapa tahu setelah ini saya kepikiran bikin novel judulnya ‘Ada Rindu di
Jakarta’ ah lebay ah! Artikel ini versi galaunya menjadi ‘Ketika Cinta Merubah
Wajah Jakarta’.
Comments
Post a Comment