Aku merindukan sebuah tanah lapang.
Letaknya sekitar 50 meter dari rumahku. Dulu, kala sore hari, tanah lapang itu
tak pernah sepi. Anak laki-laki
berkumpul untuk sekadar memainkan permainan musiman. Kadang layangan, sepedaan,
voli, bola kasti tapi lebih sering sepak bola. Bila kemarau, debu bertebaran
membalut tubuh mereka yang basah akibat keringat. Musim hujan bukanlah
pemberhentian, malah serasa kebanjiran anugerah, merek tetap bergerak, berlari
menggiring bola di tanah yang tak begitu luas namun juga tak sempit itu.
Seusai mengaji, kami para remaja
perempuan acapkali memperhatikan permainan yang sedang berlangsung. Apalagi bila salah seorang pujaan hati ada di
sana. Melihatnya berlari menggiring bola
tanpa takut debu, air dalam peluh keringat yang mengucur deras adalah definisi ‘maco’
kala itu. Begitulah cara anak remaja perempuan semacam kami membunuh
rindu. Cinta tak pernah terungkap, cinta
tersimpan aman dan malu dalam balutan rindu yang kami urai satu per satu, sore
demi sore.
Menjelang perayaan pitulasan, tanah lapang itu tak pernah sepi pengunjung. Berbagai
arena lomba dan permainan sambung menyambung kembali membuatnya hidup dan
semarak. Hari minggu tepat sebelum tanggal 17, anak-anak kecil akan berkumpul
tanpa instruksi dan memenuhi seluruh permukaan lapangan. Mereka memasang wajah sumringah dan siap
menerima tantangan lomba yang akan dilontarkan oleh pihak remaja. Terkadang, remaja kalah sigap. Rapat belum
dibentuk, lomba belum di susun, tapi peserta sudah berjubel mengantri dengan
tidak sabarnya. Karenanya, terciptalah
lomba dadakan yang belum terpikir- entah apa dan darimana hadiah yang akan disuguhkan
nantinya.
Tanah lapang yang kini kurindu itu
terdiri dari 2 bagian, separuhnya adalah wajah lapangan basket dengan ring reyot, berkarat, beralaskan lantai cor-coran semen warna putih yang mulai
memudar serta retak di semua bagian dan sebuah lapangan voli beralaskan tanah
dengan rumput liar yang tumbuh di sekeliling dan beberapa di antaranya tumbuh di bagian tengah.
Dulu, sesekali kami- yang tinggal di sekitar- mengadakan kerja bakti mencabuti
rumput-rumput liar itu. Jati dirinya
sebagai tanah lapang masih terlihat kuat. Kini, tanah itu terlihat seperti
lahan kosong nan senyap. Tak ada lagi
tanda-tanda napas kehidupan dan harga diri dari sebidang tanah lapang yang dulu
kami unggul-unggulkan pun memudar. Hanya ada rumput liar yang semakin hari semakin tumbuh
meninggi dan tak keruan arahnya.
Sore sepulang kerja, aku sering menoleh
untuk melihatnya, dan tanah itu masih saja sepi.
Tak ada lagi anak-anak bermain bola maupun sepeda. Anak-anak yang dulu
kulihat memang sudah tumbuh dewasa dengan kepadatan aktivitas masing-masing.
Tak mungkin mereka masih berkotor-kotoran dengan debu dan rela basah oleh air
hujan hanya untuk bermain sepak bola.
Sekarang sudah ada persewaan lapangan futsal, anak laki-laki tak perlu
risau lagi dengan ubalan debu dan guyuran air hujan yang membuat mereka semakin
kotor dalam kucuran keringat.
Seharusnya anak kecil tak pernah
habis. Bila satu generasi tumbuh dewasa
maka akan digantikan generasi berikutnya. Seharusnya tanah lapang itu masih
hidup di kala sore. Menjadi tempat peraduan akan kepenatan belajar selepas
sekolah. Di tanah lapang itu, hidup
sebuah keceriaan anak yang hanya berfikir tentang bagaimana cara mereka memenangkan
permainan di satu sore. Di tanah lapang itu, ada sebuah semangat yang ingin
terus diulang secara berkesinambungan dari satu sore ke sore
berikutnya. Di tanah lapang itu, tumbuh harapan para gadis akan rindu yang
melunak dan cinta sebagai amunisi yang cukup untuk menyelesaikan PR matematika.
Dan di tanah lapang itu, sebuah napas hidup dan kisah kasih antara sebidang
tanah dengan orang-orang yang tinggal di sekitarnya terukir.
Kini semua orang enggan
menjamahnya. Tak ada lagi anak- anak
bermain bola selama 3 jam sebelum adzan maghrib berkumandang. Hanya sesekali
langkah kaki seseorang terlihat sekadar lewat untuk menjangkau daerah
setelahnya. Anak masa kini tidak pernah
berhenti bermain bola, sebenarnya mereka bertemu dalam sebuah dunia digital
untuk melampiaskan kepenatan. Para gadis tetap memantau pujaan hati mereka
dengan stalking di akun media sosial
sang pujaan hati. Tak ada yang berubah, mereka hanya berpindah dan meninggalkan
tanah lapang.
Emm..., aku hanya bercerita tentang
rinduku kepada sebuah tanah lapang. Tanah lapang di dekat rumah yang menyimpan
banyak kenangan.
Comments
Post a Comment