Skip to main content

Petualang, Secangkir Kopi dan Obrolan Hangat



Pic By Galihsan


Hampir tengah malam ketika sebuah pesan bbm berisi puisi milik Octavio Paz masuk menyita perhatian. Tertuju bagi seorang wanita yang resah karena harga dirinya tengah terinjak-injak oleh kebaikan seorang kekasih. Puisi tersebut adalah bala bantuan dari seorang teman yang berkata “ini tentang orang yang sedang kasmaran tapi terpisah jarak, mereka dihubungkan oleh pelangi dan kata-kata”. Entah tafsiran si teman benar atau tidak.

The Bridge

Between now and now,
Between I am and you are
The word bridge
                  
Entering it, you enter yourself
The world connect
And closes like a ring

From one bank to another
There is always
A body stretched

From one bank to another
There is always
A body stretched
From one bank to another
There is always
A body stretched
A rainbow
I’ll sleep beneath its arches
Si wanita penerima pesan tersenyum. Rupanya ada hal lain yang ternyata mampu membungahkan hatinya selain suara dan pesan digital dari orang yang selalu dirindukannya.  
Hati kekasih mana yang lebih kuat dari hati kekasih seorang petualang?  Jarak bukan hal berarti hingga perlu diratapi, itu sudah menjadi makanan sehari-hari. Namun si wanita tengah gundah, ia terngiang sebuah ucapan “jarak dan waktu tidak bisa bohong. Jarak bisa dilipat tapi meluangkan waktu belum tentu sempat.” Kali ini ia sedikit geram. Lumpuh oleh jarak yang selama ini telah menguruninya rindu. Hatinya pilu oleh sebab pembalasan dari si kekasih atas ulahnya beberapa waktu lalu.
Hari ini beberapa jam sebelum pagi, seorang petualang- yang tak lain adalah kekasihnya- telah memberinya kejutan buku yang selama ini ia impi-impikan, jumlahnya 5 dan entah ia dapat dari mana karena, setau si wanita, buku-buku itu sudah lenyap dari peredaran. Harusnya ia senang, tapi tak begitu yang terjadi. Bagaimana kekasihnya telah mencuri momen yang harusnya ia menangkan.  Hari ini 27 tahun lalu, kekasihnya terlahir melalui raga mungil untuk melihat dan menghirup udara bumi untuk pertama kali. Betapa ia sungguh benar ingin melipat jarak dan memberi plakat kemenangan atas usaha si petualang bertahan hidup hingga saat ini. Namun keinginannya tiba-tiba musnah karena ulah si kekasih yang telah terlebih dahulu mengirim pesan kejutan itu.
“Kekasihku ,gendheng!” umpat si wanita yang tak mampu menahan kekesalan.
Dia petualang, yang kepada rumah ia katakan akan kembali berpulang.  Setiap jengkal langkah adalah kerinduan bagi ia yang menanti. Hingga tiba waktunya kembali, kekasihnya, si wanita pejuang rindu, akan membuatkan secangkir kopi hitam, pahit dan panas. Seperti permintaan si petualang, pahitnya kopi ia rendam bersama gula aren yang ia dapat dari kota seberang.  Lalu si petualang mulai menyeruput dan mencari keasaman yang telah lama ia rindukan.
Hingga 3 kali cangkirnya terangkat, barulah ia akan mulai bercerita. Tentang Bagaimana ia menempuh jarak dan menakhlukkan waktu, tentang usahannya melawan langkah yang terkadang surut.  Kepada kehadirannya yang tak selalu, si wanita merelakan perhatian dan pendengarannya untuk mencerna setiap cerita satu demi satu.  Biasanya, semasa mereka terpisah, si petualang akan mendengar keluh kesah serta rindu si wanita dari telepon yang panasnya cukup menyengat telinga.  Sesekali ia usap air mata si wanita dengan kabar dan harapan. Kini, selagi bersama dan bisa menatap mata kekasihnya dari jarak satu meter, ia memilih untuk menikmati secangkir kopi panas dengan obrolan hangat.
Ketika sadar kebersamaan itu rupanya masih mengantri di balik pintu kenyataan, Ia merasakan pahit yang teramat merebak ke seluruh bagian tubuhnya. Terlebih ketika hari peringatan kelahiran si petualang tak mampu ia menangkan. Bila harapan konyolnya bisa terkabul, maka ia akan mencubit lengan si petualang hingga membiru.  Mungkin hanya itu yang sanggup meredakan kegeramannya selain dari pelukan yang sejauh ini hanya berujung harapan. Ia akan mengomel hingga hatinya puas dan telinga sang kekasih berangsur panas dan lemas.  Ia akan menangis meronta dengan dalih hasil rindu yang entah sudah berapa lama ia berusaha benam. Barulah tangisannya surut ketika mendapati kekasih di hadapannya hanya tersenyum melihat ulahnya yang begitu jenaka.
Butuh lebih dari setengah jam untuk membuat suasana mereda.  Setelahnya, ia baru bisa menyajikan kopi panas kesukaan kekasihnya. Dan obrolan hangat itu pun kembali terulang.
“Selamat menempuh hidup dengan status usia baru,” ujarnya tepat ketika petualang selesai menghirup aroma pekat kopi hasil racikannya.
“.......”
“Terima kasih sudah bertahan sejauh ini. Mungkin aku terlalu bodoh telah berkali-kali membelikanmu kado yang salah. Kemeja salah ukuran, parfum salah, gambar hancur.... aku merasa tak mengerti apa-apa tentangmu,” lanjut si wanita. Petualang diam. Tangannya menjauhkan bibir cangkir dari bibirnya.
“Mungkin ucapanku ini pun salah, tapi mungkin juga benar. Tapi aku ingin menemanimu, bertahan menikmati aliran rindu. Saat dekat, saat jauh aku akan selalu ada untukmu,” lanjutnya kembali.
Petualang hanya tersenyum.  Ia mengerti kegetiran dari setiap kata yang kekasihnya ucapkan. Tanpa menimpali dan tanpa komentar ia kembali menarik cangkir kopi miliknya, mulai menyeruput dan bercerita tentang kisah-kisah yang memang sudah lama ia siapkan. Sesaat mereka lupa soal kelahiran, hadiah kejutan, dendam, rindu dan jarak.
Di sebuah minggu pagi bersama petualang, secangkir kopi dan obrolan hangat.

Add note :
Cerita spesial untuk @petualangcilik yang hari ini memperingati keberhasilannya bertahan hidup selama 27 tahun demi Tuhan, keluarga, teman-teman dan saya yang belum begitu ia tahu. Terima kasih atas kepercayaan dan kesabaran yang selama ini sungguh sangat menyanjung saya. Terimakasih atas pelajaraannya yang begitu berharga bahwa dendam bisa diredam menjadi sesuatu yang menyenangkan wkakakaka. Malam terlalu malam, pagi terlalu pagi (Payung Teduh) saya butuh mengarungi alam mimpi. Hoaamm... Semoga segala sesuatunya dimudahkan. Amin.




Comments

Popular posts from this blog

Sentilan Kumpulan Puisi Ublik Karya Ono Sembunglango

Puisi bukan hanya soal keindahan tata bahasa dan olah kata. Puisi mempunyai pencipta yang olehnya terdapat kedalaman rasa. Ini bukan soal data, tapi karya yang dilahirkan dari perpaduan antara kepekaan, perasaan mendalam dan kemampuan untuk menafsirkannya.  Setiap sastrawan melahirkan keresahan yang menyelubungi pikiran dan tubuhnya, sebagaimana Ono Sembunglango ketika melahirkan “Ublik” -yang merupakan kumpulan buku puisi pertamanya.  Meski bukan lahir dari daun lontar dan kertas Sinar Dunia, Ublik yang dikumpulkan melalui catatan media digital ini tetap menjadi sebuah catatan keresahan yang mewakili suatu masa. Pak Ono, mungkin begitu saja saya memanggilnya. Seorang yang saya temui dalam event blogger 2 Oktober 2024 lalu. Saya -yang bukan siapa-siapa dan baru dalam dunia blogger ini- tidak begitu banyak mengenal orang, dan saya tidak akan mengenal beliau andai kata teman sebelah saya tak menyebut kata Sutardji Calsoum Bahcri, sang maestro puisi mbeling. Ia bilang Sutardji ...

Mengendus Buku Jurnalisme di Luar Algoritma

Ada yang berubah dari wajah jurnalisme kita. Masyarakat di era ini membutuhkan kecepatan, berita harus diramu secara cepat kalau tidak mau ketinggalan. Tak dipungkiri wartawan kalah adu cepat dengan warga yang berada di tempat.  Soal kode etik mungkin mereka tak paham tapi kecepatan tentu tak diragukan. Siapa peduli dengan kode etik di jaman ini? Publik lebih menikmati video kejadian yang diambil para amatir dengan dalih originalitas. Soal akurasi tentu media juara, tapi kecepatan bisa jadi sebaliknya.  Sebenarnya hal seperti ini sudah bisa terendus dari belasan tahun lalu, saat di mana kemampuan handphone semakin di upgrade dan internet semakin dekat dengan masyarakat. Jurnalisme warga kala itu disambut sukacita sebelum pada akhirnya membuat tatanan dunia digital semakin chaos . Roma perubahan ini tentunya terendus media sedari lama, namun beda hal soal tanggapan. Ada yang bergerak cepat dan berupaya menyesuaikan diri tapi ada juga yang perlu lebih dulu mengkaji. Di luar cep...

Merayakan Ulang Tahun dengan Glamping di Puncak Bogor

  Laki-laki memang sulit ditebak. Dari sekian banyak tawaran hadiah ulang tahun yang saya tawarkan, suami justru memilih camping. Masalahnya, kami berdua bagai langit dan bumi, kutub utara dan selatan. Berbeda dalam segala hal termasuk memilih tempat liburan. Suami cenderung memilih tempat-tempat tenang, tidak banyak orang, dingin dan bisa beristirahat seperti camping dan hiking sementara saya lebih suka ramainya pasar, konser musik, serta wisata-wisata kota. Tapi karena ini soal hari jadi suami maka saya harus banyak-banyak mengalah. Yah bolehlah camping asal jangan dulu hiking . Sebenarnya sudah lama juga saya ingin menemaninya hiking tapi memang kondisi belum cukup baik dan saya belum berdamai dengan udara dingin. Kipasan satu jam saja saya tidak kuat apalagi menahan dinginnya gunung?! Lalu kami pun melakukan deal-dealan dan sampailah ke kata glamping. Istilah glamping belakangan cukup populer, bukan? Camping tapi glamor. Kalau camping kita masih harus repot-repot membawa...