Skip to main content

Menyentuh Dieng




Irero Doc.
Kalau bukan karena mobil mogok mungkin saya beserta teman-teman sepekerjaan tidak berniat bermalam di kaki Dieng.  Nasib, kata salah seorang rekan. Benarkah nasib yang menggiring kaki saya untuk pertama kalinya menginjak tanah Dieng? Lagi-lagi kata ‘pertama kali’, kedua kata itu terdengar getir di telinga para petualang. Menyedihkan.

Irero Doc

Nasib, saya masih menduga-duga posisi nasib dengan usaha. Sebagian orang bilang, hidup adalah soal nasib, sebagian yang lain bilang usaha. Tapi sebagaian yang lain berkata, tergantung konteks. Entah konteks apa yang dimaksud, apa ‘hidup’ mengandung banyak konteks?

Irero Doc

Katakanlah, konteks hidup kali ini menyoal sesuatu yang tidak terencana, maka kami sebut nasib. Berarti, pijakan kaki pertama saya di Dieng adalah karena nasib dan bukan rencana. Biasanya, sesuatu di luar rencana akan membawa pesan rahasia dan menimbun kesan mendalam. Saya tak tahu apa pesan rahasia itu, dan bahkan tidak terlalu yakin pesan itu benar-benar ada. Kalau soal kesan, ketika saya berada di suatu tempat namun membayangkan kekasih saya yang berada di tempat lain, ketika itu saya menjadi kurang paham di mana letak posisi kesan. 

Telaga Warna - Irero Doc

Tempat ini dekat dengan langit. Langit dipercaya sebagai tempat bermukin dewa dewi, lalu disebutlah tempat ini sebagai negeri khayangan/ negeri para dewa. Inilah dataran tertinggi di negeri ini. Kata google suhu rata-rata tempat ini berkisar 15 – 20°C, angka rata-rata suhu AC di ruang kerja saya. Bila malam angka tersebut bisa berkurang hingga 10°C. Pada musim kemarau pagi di sana bisa mencapai titik nol derajat celcius. Angka yang cukup membekukan embun pagi dan mematikan denyut nadi saya.

Telaga Warna - Irero Doc

Beruntungnya saya tidak bertempur langsung dengan angka-angka itu. Saya bermalam di rumah salah seorang rekan di mana saya di beri fasilitas selimut tebal dan bantalan tubuh yang cukup membenamkan tubuh saya dari dinginnya lantai. Baru semalam saya tinggal di sana saja sudah belingsatan karena saking dinginnya, lalu bagaimana dengan penduduk setempat yang lahir, tumbuh dan mati di daerah itu? Kata orang ini hanya soal kebiasaan. Kebiasaan menjadikan sesuatu lebih kuat dari apa yang sekadar dipikirkan. Kalau begitu, kebiasaan bisa menjadi kunci atas ketidakmungkinan akan suatu hal. Kata tempat kerja saya, bisa karena terbiasa. Terbiasa karena mencoba. Tempat ini mengajarkan bagaimana yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Telaga Warna - Irero Doc
Penjual di depan kawasan Telaga Warna - Irero Doc

Kata musafir, perjalanan pastilah bermakna. Tak ada perjalanan yang sia-sia dan kosong belaka. Seperti halnya saya yang berusaha memaknai perjalanan atas seruan nasib ini. Perjalanan sesungguhnya tidak selalu berjalan dan sebatas lewat.  Adakalanya singgah dan berinteraksi dengan pribumi.  Maka, makna perjalanan yang paling utama bukan terletak pada bagaimana ia terus berjalan, tetapi seberapa lama ia singgah.  Seperti Agustinus W yang menceburkan diri menjadi bagian dari tempat yang ia singgahi, seperti itulah makna perjalanan tergali dan semakin dalam.   

Otw Kawah Sikidang



Warning di Kawah Sikidang - Irero Doc
Di depan Kawah Sikidang - Irero Doc

Dieng bukan sekadar Dieng- bila kita mau singgah untuk beberapa lama. Dieng tak sekadar keindahan Telaga Warna kala pagi dan sore hari, bukan pula eksotisme warna kawah Sikidang di bawah awan dan langit dengan warnanya yang biru, atau kekokohan candi-candi yang terjejer rapi. Dieng lebih dari sekadar Dieng bila kita mau menyelaminya lebih dari sehari dua hari, bermukim.  

 
Warning di Kawah Sikidang - Irero Doc
Batu dari Kawah yg katanya bisa menyembuhkan gatal dan baik untuk kulit wanita


Candi sedang dipakai sepasang kekasih untuk prewedd

Saya bukan musafir sejati, bukan pula backpacker yang serba minimalis. Saya hanya penulis kehidupan yang kebetulan dihantarkan nasib untuk singgah sejenak di Dieng.  Sebagai wisatawan dadakan, saya hanya bisa mengabadikan Dieng melalui kamera Hp dan menuliskannya dengan berbekal ingatan minim. Saya gagal memaknai Dieng secara lebih mendalam layaknya Agustinus W menggali dan memaknai Tibet. Saya tak sehebat dan sekuat itu.

Namun, dari pijakan dadakan ini terbesit dalam benak saya untuk terus berpijak, entah mendadak, entah terorganisir, entah sendiri, entah berkawan. Dieng mengajarkan saya untuk terus bersiap dengan segala kondisi fisik dan mental atas segala macam keadaan. Dieng membuka mata saya untuk melihat negeri ini secara lebih jauh dengan menyinggahinya satu demi satu, langkah demi langkah. Mungkin seperti itu yang ingin nasib gambarkan, dan hanya itu yang tertangkap oleh otak saya.  

Seruan di wilayah candi

Comments

  1. Aku malah belum pernah ke sana. Awal 2014 lalu sebenarnya mau berkemah di sana, tapi kemalaman. Batal.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Loh kemalaman justru nginep to Kang?
      Bagaimana kalau kau cerita tentang Bumi Kalimantan?

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Sentilan Kumpulan Puisi Ublik Karya Ono Sembunglango

Puisi bukan hanya soal keindahan tata bahasa dan olah kata. Puisi mempunyai pencipta yang olehnya terdapat kedalaman rasa. Ini bukan soal data, tapi karya yang dilahirkan dari perpaduan antara kepekaan, perasaan mendalam dan kemampuan untuk menafsirkannya.  Setiap sastrawan melahirkan keresahan yang menyelubungi pikiran dan tubuhnya, sebagaimana Ono Sembunglango ketika melahirkan “Ublik” -yang merupakan kumpulan buku puisi pertamanya.  Meski bukan lahir dari daun lontar dan kertas Sinar Dunia, Ublik yang dikumpulkan melalui catatan media digital ini tetap menjadi sebuah catatan keresahan yang mewakili suatu masa. Pak Ono, mungkin begitu saja saya memanggilnya. Seorang yang saya temui dalam event blogger 2 Oktober 2024 lalu. Saya -yang bukan siapa-siapa dan baru dalam dunia blogger ini- tidak begitu banyak mengenal orang, dan saya tidak akan mengenal beliau andai kata teman sebelah saya tak menyebut kata Sutardji Calsoum Bahcri, sang maestro puisi mbeling. Ia bilang Sutardji ...

Mengendus Buku Jurnalisme di Luar Algoritma

Ada yang berubah dari wajah jurnalisme kita. Masyarakat di era ini membutuhkan kecepatan, berita harus diramu secara cepat kalau tidak mau ketinggalan. Tak dipungkiri wartawan kalah adu cepat dengan warga yang berada di tempat.  Soal kode etik mungkin mereka tak paham tapi kecepatan tentu tak diragukan. Siapa peduli dengan kode etik di jaman ini? Publik lebih menikmati video kejadian yang diambil para amatir dengan dalih originalitas. Soal akurasi tentu media juara, tapi kecepatan bisa jadi sebaliknya.  Sebenarnya hal seperti ini sudah bisa terendus dari belasan tahun lalu, saat di mana kemampuan handphone semakin di upgrade dan internet semakin dekat dengan masyarakat. Jurnalisme warga kala itu disambut sukacita sebelum pada akhirnya membuat tatanan dunia digital semakin chaos . Roma perubahan ini tentunya terendus media sedari lama, namun beda hal soal tanggapan. Ada yang bergerak cepat dan berupaya menyesuaikan diri tapi ada juga yang perlu lebih dulu mengkaji. Di luar cep...

Merayakan Ulang Tahun dengan Glamping di Puncak Bogor

  Laki-laki memang sulit ditebak. Dari sekian banyak tawaran hadiah ulang tahun yang saya tawarkan, suami justru memilih camping. Masalahnya, kami berdua bagai langit dan bumi, kutub utara dan selatan. Berbeda dalam segala hal termasuk memilih tempat liburan. Suami cenderung memilih tempat-tempat tenang, tidak banyak orang, dingin dan bisa beristirahat seperti camping dan hiking sementara saya lebih suka ramainya pasar, konser musik, serta wisata-wisata kota. Tapi karena ini soal hari jadi suami maka saya harus banyak-banyak mengalah. Yah bolehlah camping asal jangan dulu hiking . Sebenarnya sudah lama juga saya ingin menemaninya hiking tapi memang kondisi belum cukup baik dan saya belum berdamai dengan udara dingin. Kipasan satu jam saja saya tidak kuat apalagi menahan dinginnya gunung?! Lalu kami pun melakukan deal-dealan dan sampailah ke kata glamping. Istilah glamping belakangan cukup populer, bukan? Camping tapi glamor. Kalau camping kita masih harus repot-repot membawa...