Skip to main content

Ramenya Rasa “Penjaja Cerita Cinta”





Judul Buku          : Penjaja Cerita Cinta
Penulis                 : @edi_akhiles
Penerbit               : Diva Press
Tahun terbit        : 2013
Jml hal                  : 192

“Penjaja Cerita Cinta”, judul buku itu menyimpan seribu tanya di kepala saya, apa gerangan kira-kira isinya? Apakah seorang cowok playboy yang doyan berkata-kata? Owh, atau mungkin cerita mengenai seseorang yang suka menjajal berbagai kisah asmara? Kurang lebih begitulah tanda tanya besar dalam otak saya. Coba-coba menerka, tapi setelah  saya buka, saya telusuri kata per kata, semua imajinasi saya ambyar....pyaaarrr....! unpredictable!

Sebuah imajinasi menarik yang dibalut siratan makna dalam kemasan bahasa yang puitis. Penulis cerdas memainkan diksi. Bahkan saya harus bersabar mencerna makna per kalimat akibat diksi yang digunakan tidak biasa dan tidak bisa saya terka. Pun saya tidak terpikir akan menggunakan kata pengganti model semacam itu jika saja saya yang menulis. 

Jika ada sesuatu yang bisa melekat sedemikian pepatnya hingga tak ada seutas detik pun yang sanggup melepaskannya dari denyut jiwa manusia, pastilah itu sebuah kenangan. Bukankah semakin memberontaki kenangan justru ia akan menyelinap tak terbendung ke ruang-ruang terdalam jiwa?

I will say “ Ya”, banyak kebenaran-kebenaran dan kegalauan problematika kehidupan manusia yang tertangkap dan tersaring di “Penjaja Cerita Cinta”.

Membacanya sudah membuat darah saya panas, mulai dari kepiawaian dan kekayaan permainan diksi, imajinasi cerita yang tak terduga dan penuh kejutan, cerita kesetiaan yang mengharukan dan menghanyutkan, dan ending yang menurut saya......

...... Diam-diam dadaku kian sesah dihujam dera malu pada diriku sendiri yang laki-laki, yang tak pernah memiliki kekuatan kesetiaan, yag telah membiarkan wanitannya yang sepi menjadi patung di akhir ceritaku.

Naaah..! itu, itu dia. Dapet ke saya! Ending yang menurut saya briliant bin kece, setelah fase kesetiaan dan deruan kerinduan yang dihadirkan sang wanita senja. Mulanya saya berfikir , kasihan sekali wanita senja itu, tapi makin jauh saya baca saya jadi sadar betapa wanita senja itu bisa jadi siapa saja di kehidupan sekarang dan mungkin juga saya termasuk salah satu di antaranya.

Setelah kepedihan, lalu kecemasan dan  di berilah ending briliant yang menetralisirkan segala keruh cerita. Ending yang dihadirkan penulis adalah bentuk jawaban andai saya yang menjadi wanita senja itu. Dalam sebuah penantian dan kerinduan saya merasa ada yang salah, mungkin bagi sebagian orang penantian dan kesetiaan itu adalah suatu kebodohan, mungkin yang lain berkata itu adalah pengorbanan, atau apapun itu tapi menurut saya, ada ‘andil laki-laki’ di dalamnya. Itu pula yang selama ini menggelayuti pikiran saya. Dan penulis berhasil menjadikannya kunci sekaligus mengurai jelas kegelisahan yang selama ini saya rasakan. Jempol ah!

Salah satu ucapan penulis yang masih saya ingat adalah “Memberi siratan pesan moral” dalam setiap cerita yang dibuat. Setelah saya khatam membaca “Penjaja Cerita Cinta” saya percaya ternyata apa yang beliau katakan dapat pula beliau buktikan. Penulis pandai menyisipkan pesan moral dalam bentuk banyolan konyol sekalipun.

Tapi harus saya akui, saya butuh nafas yang lebih panjang ketika membaca satu kalimat yang terlampau panjang. Dan itu banyak saya temui di cerpen pertama yaitu ‘Penjaja Cerita Cinta’ itu sendiri.

Membaca kumpulan cerpen ini seperti menelusuri seluk beluk kehidupan melalui berbagai cara pandang.  Tapi ada garis jelas yang dianut meski cerita, pilihan kata, cara ceritanya sangat variatif. Garis jelas tersebut mengembalikan semuanya ke jalur semula, jalur hakiki dari hakekat kehidupan manusia.

“Cinta yang Tak Berkata-kata”. Membacanya saya merasa sedang bercermin. Ada beberapa part yang hampir serupa dengan kisah yang saya alami, hehe.  Yah, saya jadi ingat bahwa saya pun ‘ingin diperlakukan sebagai kekasih yang nyata, bukan sekedar puisi cinta dan kata-kata belaka’. Terima kasih sudah diingatkan!

“Dijual Murah Surga Seisinya”. Awal kisah yang ringan namun bisa enak diceritakan dengan siratan makna mendalam. Setelah membacanya saya jadi hitung-hitungan, bila saya berak kurang lebih 2x sehari dan setiap kalinya saya butuh waktu 5 menit, artinya setiap hari saya berak 10 menit. Dalam seminggu berarti saya berak 70 menit. Sebulan berarti x 4 = 280 menit, setahun berarti 280x 12 =3360 menit. Di kalikan umur saya 26x 3360 = 87360 menit. Dijadikan jam = 1456 jam = 60 hari. Artinya waktu yang terbuang untuk berak saya seumur hidup kurang lebih adalah selama 2 bulan. Hahahaha memang konyol tapi bisa diaplikasikan ke penghitungan yang lain juga, kan? Tujuannya untuk kita renungi apa benar kehidupan kita sudah aplikatif dan sudah maksimal? Atau jangan-jangan kita terlalu banyak membuang waktu ketika mandi, ketika bermain, nonton TV? Bila penghitungan berak hanya 10 menit sehari dan totalnya mencapai 2 bulan seumur saya, bagaimana dengan waktu menonton TV? Coba dibuat perkiraan, hitung paling sedikit 2 jam, dan rasakan berapa banyak waktu terbuang hanya untuk menonton TV seumur hidup kita? Kemasan ceritanya ringan, tapi lihat efeknya setelah membaca!

“Secangkir Kopi untuk Tuhan”, salah satu favorit saya. Penggambaran mengenai kehilangan dalam balutan cerita yang unik. Betapa banyak manusia yang berlarut-larut dalam kehilangan, dan cerita ini adalah salah satu perwakilan dari seluruh cerita kehilangan.

Tuhan, sejak dari Sepang tadi, aku membawa secangkir kopi, kutinggalkan kopi ini di sini, di rumah Mu, semoga ada seseorang yang berkenan meminumnya untuk melepas dahaganya, dan bila itu bernilai pahala di sisi-Mu, tolong berikan kebaikan pahala itu untuk Simoncelli....Amiinnn....

Kehilangan adalah bentuk pembelajaran akan keikhlasan, tapi kebaikan dan niat yang tulus untuk seseorang tidak akan bisa dipisahkan oleh jarak maupun perbedaan alam. Pesan, saran serta cara pandang terhadap ‘kehilangan’ berhasil penulis hadirkan secara ringan dan mudah dipahami melalui ‘Secangkir Kopi untuk Tuhan’.

“Menggambar Tubuh Mama”, hmm...saya tidak bisa cerita banyak, saya mrinding. Ceritanya berani!

“Tak Tunggu Balimu”, banyak pengetahuan di sini, I like it, saya jadi tahu Ricoeur dengan 2 kata kunci hermeneutisnya yaitu what is said dan the act of saying, lalu istilah korpus terbuka, yang sebelumnya belum pernah saya dengar. Pada kata kunci what is said dikatakan bahwa sebuah teks akan terus menciptakan pergeseran makna dari pembaca pertama alias penulis sendiri ketika jatuh ke tangan pembaca kedua dan selanjutnya. Yang penasaran bisa baca sendiri “Tak Tunggu Balimu”, tapi tenang, ceritanya tidak seberat siratan pelajarannya kok, jangan dibayangkan saya sedang belajar ilmu praktis lho.

Favorit saya yang lain adalah “Cerita Sebuah Kemaluan”, ya unpredictable aja bisa terbesit ide dari sebuah kemaluan.

Saat Horny beginilah, ingatanku tentang pertanyaan lama “Mengapa kelaminku hanya satu?” kembali melambai-lambai bak nyiur di pantai yang tak pernah capai.  Andai dua, tentu saat ini punn aku kan bisa langsung memuaskan hasrat seksualnya pada diriku sendiri : satu kemaluan dengan kemaluan lainnya yang sama-sama ada padaku.

Saya suka ide gila, liar dan nakal (mbeling). Hebatnya (ini yang patut saya salutkan dari penulis) adalah klarifikasi yang selalu penulis dihadirkan :

“Andai masing-masing kita punya dua kemaluan, pastilah kita akan entengan untuk tidak menjadga malu kita.  Sebab kalaupun satu kemaluan itu terkuak malunya, masih ada serep satu lagi, kan?”

Ini menjawab kontra dalam diri saya antara menyukai ide-ide liar dengan tanggung jawab moral yang harus diemban setiap manusia (termasuk penulis). Keduanya bisa digabungkan, haaaa senangnya nemu konsep begitu. Thank you Sir...... (standing applause...hurriah...!!!)

Lalu “Abah I Love You & Lengking Hati Seorang Ibu yang Ditinggal Mati Anaknya”, dua cerita yang membuat saya tercenung, Kalau saya pribadi dulu waktu SD tidak berfikir mengapa saya dikekang, karena saya dulu merasa memang semua orang tua seperti itu (itu juga saya lihat dari teman-teman saya), yang terpikir malah ‘mengapa orang tua saya tidak kaya sehingga saya tidak bisa membeli buku paket sekolah? Mengapa saya tidak berganti seragam baru selama 2-3 tahun sedang teman-teman saya selalu ganti? Mengapa saya tidak dibelikan sepeda sementara semua teman-teman saya punya?  Baru sekarang saya mengerti, memang orang tua saya pas-pasan, tapi dari itu justru saya jadi kuat, punya mimpi dan harapan untuk membalik keadaan. Yaah...kita sering menyadari hikmah setelah kejadian berlalu, mungkin hakekat manusia hidup memang seperti itu, untuk hidup dan mengambil pelajaran hidup.

“Si X, Si X, And God”, Thank you to make it easier to understand Sir , :D

Buku ini berkelas sastra, karenanya menurut saya layout yang dihadirkan terlalu ramai untuk ukuran buku sastra.  Begitu juga menurut saya, tulisan Pak Edi biarpun dikemas dalam versi apapun tetap berkesan kuat, sehingga secara pribadi saya berandai bila font yang dipilih juga jenis font kuat seperti TNT, Bodoni MT, Book Antiqua, Courier New, agar lebih menyatu dengan kelas tulisannya.

Membaca buku ini serasa menelusuri berbagai rupa kehidupan.  Bukan hanya menikmati sastra melalui rangkaian kata, tapi juga banyak sekali makna pembelajaran tentang kehidupan yang bisa pembaca petik sekaligus merubah mindset.  Yang ingin benar saya tiru adalah cara penulis menyisipkan siraman rohani dan pesan moral yang begitu halus.  Bagaimanapun juga penulis adalah orang yang membuat saya merenung, mempertentangkan antara kebebasan tulisan sebebas-bebasnya versus sisipan pesan moral.  Kedua hal itu sempat berperang dalam diri saya karena di satu sisi menurut saya tulisan adalah salah satu bentuk kebebasan, tapi penulis juga benar, ‘melakukan sesuatu yang disukai dengan lebih banyak memberi manfaat itu jauh lebih baik’.

Terakhir, buku yang bagus menurut saya adalah buku yang bisa merubah mindset pembacanya dan membekas di hati pembaca. Dan buku ini berhasil melakukannya. Entah tadi saya sedang membaca, belajar kehidupan, belajar tulisan atau bercermin? Ah, entahlah, Nano-nano deh! Rame rasanya!
 

Comments

Popular posts from this blog

Sentilan Kumpulan Puisi Ublik Karya Ono Sembunglango

Puisi bukan hanya soal keindahan tata bahasa dan olah kata. Puisi mempunyai pencipta yang olehnya terdapat kedalaman rasa. Ini bukan soal data, tapi karya yang dilahirkan dari perpaduan antara kepekaan, perasaan mendalam dan kemampuan untuk menafsirkannya.  Setiap sastrawan melahirkan keresahan yang menyelubungi pikiran dan tubuhnya, sebagaimana Ono Sembunglango ketika melahirkan “Ublik” -yang merupakan kumpulan buku puisi pertamanya.  Meski bukan lahir dari daun lontar dan kertas Sinar Dunia, Ublik yang dikumpulkan melalui catatan media digital ini tetap menjadi sebuah catatan keresahan yang mewakili suatu masa. Pak Ono, mungkin begitu saja saya memanggilnya. Seorang yang saya temui dalam event blogger 2 Oktober 2024 lalu. Saya -yang bukan siapa-siapa dan baru dalam dunia blogger ini- tidak begitu banyak mengenal orang, dan saya tidak akan mengenal beliau andai kata teman sebelah saya tak menyebut kata Sutardji Calsoum Bahcri, sang maestro puisi mbeling. Ia bilang Sutardji ...

Mengendus Buku Jurnalisme di Luar Algoritma

Ada yang berubah dari wajah jurnalisme kita. Masyarakat di era ini membutuhkan kecepatan, berita harus diramu secara cepat kalau tidak mau ketinggalan. Tak dipungkiri wartawan kalah adu cepat dengan warga yang berada di tempat.  Soal kode etik mungkin mereka tak paham tapi kecepatan tentu tak diragukan. Siapa peduli dengan kode etik di jaman ini? Publik lebih menikmati video kejadian yang diambil para amatir dengan dalih originalitas. Soal akurasi tentu media juara, tapi kecepatan bisa jadi sebaliknya.  Sebenarnya hal seperti ini sudah bisa terendus dari belasan tahun lalu, saat di mana kemampuan handphone semakin di upgrade dan internet semakin dekat dengan masyarakat. Jurnalisme warga kala itu disambut sukacita sebelum pada akhirnya membuat tatanan dunia digital semakin chaos . Roma perubahan ini tentunya terendus media sedari lama, namun beda hal soal tanggapan. Ada yang bergerak cepat dan berupaya menyesuaikan diri tapi ada juga yang perlu lebih dulu mengkaji. Di luar cep...

Merayakan Ulang Tahun dengan Glamping di Puncak Bogor

  Laki-laki memang sulit ditebak. Dari sekian banyak tawaran hadiah ulang tahun yang saya tawarkan, suami justru memilih camping. Masalahnya, kami berdua bagai langit dan bumi, kutub utara dan selatan. Berbeda dalam segala hal termasuk memilih tempat liburan. Suami cenderung memilih tempat-tempat tenang, tidak banyak orang, dingin dan bisa beristirahat seperti camping dan hiking sementara saya lebih suka ramainya pasar, konser musik, serta wisata-wisata kota. Tapi karena ini soal hari jadi suami maka saya harus banyak-banyak mengalah. Yah bolehlah camping asal jangan dulu hiking . Sebenarnya sudah lama juga saya ingin menemaninya hiking tapi memang kondisi belum cukup baik dan saya belum berdamai dengan udara dingin. Kipasan satu jam saja saya tidak kuat apalagi menahan dinginnya gunung?! Lalu kami pun melakukan deal-dealan dan sampailah ke kata glamping. Istilah glamping belakangan cukup populer, bukan? Camping tapi glamor. Kalau camping kita masih harus repot-repot membawa...