Tiba-tiba aku berhasrat ingin menulis tentang masa lalu. Menceritakan seseorang ex-boyfriend, tapi aku sanksi apa masih bisa aku sebut dia ‘mantan’,
karna sepertinya kami tak pernah pacaran, hanya bermain status. Tulisan ini
hanya sebuah persembahan untuk pernikahannya. Wujud doaku untuk menjadikan
pernikahannya sakinah, mawadah, dan warrahmah, amin.
Aku ingin bercerita sedikit mengenai pertemanan singkat kita beberapa tahun
lalu. Saat itu saat di mana aku sakit
keras, aku takut Tuhan akan segera memanggilku, dan dalam balutan rasa tak
karuan seperti itu, yang aku ingin tuntaskan hanyalah hutang-hutang dan rasa
bersalah yang selama itu belum kutebus. Salah satunya, dia. Namanya Charis.
Sekian tahun aku berusaha menghindarinya.
Membiarkan dia dalam keterpurukan.
Tentu dia terkejut, kenapa aku yang selalu bersembunyi tiba-tiba muncul.
Dia menangkap ‘ketidakberesan’ dalam niatanku.
“Aku main ke rumah ya?” katanya.
“Jangan...jangan...” balasku melarang.
“Kenapa?” dia curiga.
“Ga’ papa, pokoknya jangan,” tegasku.
“Besok aku ke sana!” ucapnya lugas.
“Jangan, kondisiku buruk, mukaku pucat, aku ga’ pengen kamu liat!” kataku
akhirnya.
“Tuh kan, ada yang ga’ beres. Besok aku maen ke rumah pokoknya!”
Dan benar, dia datang setelah sekian tahun kami tak bertatap muka. Aku tak
bisa bohong dengan kondisiku yang terlihat jelas dan tak bisa kututup-tutupi.
Akhirnya aku pun bercerita, aku memang lagi sakit. Shit,
kuharap dia tidak girang melihat kondisiku!
Tapi benar dia pria yang baik, setelah aku sakit dia selalu berusaha
menemani. Bahkan mengantarkanku cek darah. Mengecek obat-obat apa saja yang aku
minum. Bak spesialis obat (memang anah farmasi sih) dia mendeteksi penyakitku
dari obat-obat yang kukonsumsi. Sepertinya bukan yang mematikan sekali, itu
yang kutangkap. Di sela-sela pertemanan kami dia akhirnya menanyakan hal
itu.
“Boleh aku tanya?”
“Hemm, apa?” duh, pasti tanya soal
itu.
“Kenapa sih, dulu kamu tiba-tiba mutusin aku?”
Owh, gimana jawabnya, apa dia bakan
benci aku? “Ee..itu karna dulu
aku masih labil, biasa anak SMA, perasaannya ga’ jelas, kadang timbul kadang
tenggelam, maafin aku ya,” aku berusaha jujur dan menguasai ingatan.
Aku tahu benar dari cerita anak-anak, kala itu dia sangat terpukul. Dan itu
dosa terbesarku padanya. Bahkan sadis. Minggu pertama jadian, belum pernah
pacaran, minggu berikutnya aku putusin. Mungkin butuh waktu lama untuknya
sembuh dari keterpurukan, dan setelah sembuh, kini aku harus hadir lagi?! Engga’!!! jangan pernah kamu mau balikan
sama cewek macam aku Ris, yang ngga’ bisa menghargai perasaan, yang ga’ bisa
menguasai diri seperti dulu. Aku pun bila
diposisimu sudi untuk baik-baik sama orang yang sudah mencabik-cabik
perasaanku, apalagi balikan! Kamu
harus cari cewek yang baik.
“Berarti kamu sekarang berubah, ya?” tanyanya.
“Berubah gimana maksudnya? Kuperjelas arah pertanyaanya.
“Udah mau bicara sama aku, dulu suka menghindar,” jleb.
“Sekarang aku sudah besar, sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana
yang engga’, sudah bisa mengontrol diri dan emosi, yang dulu itu kan pikiran
anak-anak SMA,” belaku. Lebih tepatnya, Maafin
aku...
“juga sekarang pakai jilbab,” tambahnya
“Apa aku ga’ pantes pakai jilbab?” tanyaku balik.
“Pantes kok, bagus malah, aku suka cewek berjilbab,”
Dia menjadi saksi jilbab minimalisku. Maksudnya, jilbab yang aku pakai
asal-asalan karena baru beberapa hari aku mengenakannya, dan aku tak tahu cara
mengkreasikannya. Malah dia bilang nanti
lama-lama pasti aku terbiasa. Aku baru sadar sekarang dulu jilbabku pasti aneh.
Ris, sekarang aku udah pandai pakai jilbab, model apapun!
Hehe
Dan selanjutnya kita berteman dengan sangat baik. Bahkan dia sangat
baik. Mengontrol kesehatanku, mengecek
perubahan obatku, memilih mana yang boleh kumakan dan mana yang tidak. Lebih
tepatnya, membiarkan harapan kehidupan gadis sepertiku, yang dulu pernah
menyianyiakannya pun pantas hidup. Menepis rasa kekecewaan dan sesal dan
berusah baik, dia baik.
“Laper ga’?”
“Kamu mau makan apa?” tanyanya.
“Gimana kalau Mie ayam atau Bakso, aku suka,”
“Mending Bakso, itu lebih sehat karena ada dagingnya, tapi ga’ boleh pake’
caos ma sambel,” jelasnya.
“Iya Pak Dokter,”
“Aku bukan Dokter,” balasnya.
“Iya Pak Mantri,”
“Itu juga engga’!” dia mulai kesal.
“Pake’ caos sedikit ya, please...hambar tau ngga’ pake’ caos,” ucapku
memohon.
“Iya, dikit aja ga’ papa,”
Entah kenapa di saat aku sakit, pikiranku berubah jernih, dan ada 2 hal
yang selalu ingin aku lakukan pada saat itu.
Memainkan gitar lalu bernyanyi dan membaca buku. Sakitku saat itu
membuat tanganku gatal ingin memetik gitar, akhirnya berusaha keras aku
kumpulkan tenaga untuk memetiknya dan bernyanyi, dan kurekam. Dia meminta
rekamanku, entah buat apa. Mungkin kenang-kenangan andai nyawaku tak tertolong
(ups, maaf atas pikiran liar kala itu). Tapi ternyata beberapa tahun hingga
2013 aku masih hidup.
Lama-lama kondisiku membaik. Kelegaan hati, ketenangan hati ternyata adalah
syarat utama sehat. Lalu kami sering bercerita, tentang pekerjaanku di radio
yang baru saja kutinggal, tentang kuliahnya, tentang kekasihnya yang sangat
islamic, tentang kondisiku, tentang mimpiku, tentang apapun. Dia terlampau baik
untuk ukuran orang yang pernah aku permainkan. Bahkan dia mau menjemputku pagi
buta untuk mengantarku test CPNS (itu pertama dan isyaAllah terakhir dalam
hidupku, he) yang letaknya jauh di dekat Unimus. Bahkan dia bersedia menungguku
berjam-jam hingga test usai.
“Sapa tuh?” tanya Agus, Gilang dan teman-teman sembari melirik Charis yang
berjarak 2 meteran dari kami. Rupanya keunikan test CPNS adalah sebagai ajang
reuni, di sana satu jurusan dari berbagai generasi terkumpul dalam satu tempat
dan satu wadah.
“Bukan, temen,” balasku menjelaskan.
“Wuu temen kok mau-maunya nganter ma nunggui test, kalo’ aku mah ogah!” balas mereka. Sial!
“Iya, matan, mantan....” kataku akhirnya.
“Tapi sekarang cuma temen,” tambahku.
“Eeeciee...yang test ditunggui mantan,” goda mereka. Haduh....
“Parah lu Re, manfaatin mantan buat antar jemput,” kata Agus,
“Bukan, dia menawarkan kok,” belaku.
“Kenalin kita-kita dong..” kata mereka. Akhirnya aku mengenalkan, lalu
kutinggal mereka mencari teman yang lain. Entah apa yang mereka obrolkan,
obrolan para pria.
Kukatakan lagi, dia pria yang sangat baik. Ucapannya selalu lembut, tenang
dan hati-hati. Aku tak pernah merasa dia mantanku, karna tak ada guritan kisah
asmara yang berhasil kami tinggalkan dulu. Aku hanya mengingatnya dan
mengenangnya sebagai teman yang baik (hingga sekarang).
Saat kita sama-sama mengajar les privat dalam satu rumah. Dia menjemputku dan
kami sering mengulur waktu pulang, mampir ke jagung bakar asmara langganan
kami. Aku sudah mengurangi waktu
nongkrongku selepas kuliah, tapi aku suka membunuh waktu dengannya. Banyak kenyamanan yang tak bisa diuraikan
mengapa. Bahkan Mbak penjual hapal dengan kami. Bahkan, pernah aku ke sana
dengan temanku, si embak bertanya “Ngga’ sama masnya Mbak?” ah, pasti dia salah
paham, kami cuma berteman. Aku tak ingin melukai prinsipku betapa aku tak rela
dia menjalin ikatan dengan wanita yang pernah menyakitinya, seperti aku.
Dia mudah bergaul dengan siapa aja, penjual es, orang nongkrong di jalan,
bahkan penjaga persewaan movie. Oh
ya, dia yang mengajarkanku menyukai movie.
Ceritanya, selepas mengajar, dia mengajakku mampir ke persewaan movie. Begitu masuk, penjaganya (yang
masih ranum, ABG2 gitu) langsung sumringah, obrolan ringan mengalir di antara
mereka. Si penjaga melirikku sepertinya
kurang suka. Ah dasar! Banyak sekali
penggemarmu.
Ya, dia mengajarkanku memilih movie. Lalu meninggalkan nomer kartu persewaanya,
siapa tau suatu hari aku mau pinjam, pakai kartunya. Selanjutnya aku ketagihan,
rupanya nonton movie itu
menyenangkan!
Pertengkaran? Pernah. Tapi dia tidak pernah mengijinkan nada
tinggi ada di antara kami. Ceritanya,
kala itu kami salat maghrib. Sudah sewajarnya pria dan wanita salat bersama,
satu imam dan satu makmum. Itu menurutku wajar, dan aku selalu seperti itu
dengan siapa saja. Tapi dia menolak. Dia minta kami salat sendiri-sendiri,
alasannya tak bisa kuterima, dia tidak mau mengingimamiku. What?! Heloo..?! imam tidak harus jadi suami, kita temenan,
imam-imaman ga’ masalah kan?! Ini kenapa jadi begini?! Aku merasa terhina.
Sebenarnya apa yang dia pikirkan!?
“Kita pulang cepat ya, aku harus mimpin rapat remaja,” katanya usai salat.
Aku diam. Tentu kesal, urusan
imam-imaman tadi belom kelar! Aku masih tersinggung, apa maksud dia seperti
itu, apa dia kira aku mengartikan ‘imam’ yang lain. Itu cuma salat, simple. Harusnya simple tapi dia berhasil membuat rumit.
Dia menangkap kekesalanku, diperjalanan bahkan aku hanya diam. Dia tanya,
aku diam. Dia tanya, aku tetap diam. Akhirnya,
“Eh, kamu pernah minum es setup,” tanyanya lembut.
“Ngga’ pernah,” akhirnya aku bersuara.
“Oke, kita belok yuk, aku ada langganan es setup di sekitar sini,” ucapnya tenang.
Lho? Katanya tadi buru-buru mau
mimpin rapat, kok?! Lalu dia
bercengkerama hangat dengan si penjual es yang sudah lama dia kenal (ya,
sepertinya dia kenal semua orang!) heran dia tetap calm down, seolah tak dikejar waktu. Mungkin sekawanan remaja di
daerahnya sedang meraung-raung menunggunya.
Setelah suasana tenang baru dia bicara.
“Aku ngerti kamu marah soal salat tadi,” lalu dia menjelaskan mengapa dia
seperti itu. Aku coba masukkan
persepsiku, aku menganggap itu hal wajar dan tak perlu di buat serius seperti
itu dalam hal mengimami. Tapi dia bilang
itu prinsip, dia mau mengimami wanita yang kelak jadi istrinya. Aku berusaha
menerima penjelasannya. Kontra kami, dia
berfikir A aku berfikir B. Tapi aku hargai cara dia menjelaskan, dan mengetuk
pintu kekecewaanku. Aku merasa berarti.
“Udah ga’ marah ya?” katanya. Aku tersenyum
“Tapi tetep ya, yang aku lakukan
tadi sudah benar,” owh, kenapa kata-kata
akhirnya itu. Ini orang lembut tapi sekali bilang A ya A. Sekalipun gunung
runtuh!
Tapi yasudahlah, aku benar-benar disanjung dari caranya menenangkanku.
Kecepatan motornya beda dengan sebelum kami mampir minum es. Kecepatannya tinggi, pasti dia mengejar rapat
yang baru saja dia kesampingkan.
Cara dia yang calm down itu yang
selalu aku ingat, dan ingin kutiru. Pernah usai mengajar aku uring-uringan,
karna muridku kala itu susah, benar-benar menguras perhatian, tenaga dan emosi.
Dia tetap lembut menasehati tapi yang diungkapkan itu inti. Membuatku berfikir
ulang, owh iya ya harusnya aku
mengajar dengan cara yang dia ucapkan, mungkin aku di balut target dan keadaan
jadi tidak kepikiran. Entah apalagi,
mungkin banyak kenangan singkat pertemanan jilid ke dua kami. Yaitu pertemanan
sebagai upaya perbaikan jilid pertama kami yang pernah aku hancurkan. Dan aku lupa setelahnya kami kembali ke
kehidupan kami masing-masing, aku sibuk bekerja di perusahaan baru, dia sibuk
kuliah, lalu kerja dan aku lupa jejaknya. Cuma kami sesekali menghubungi jika
dirasa perlu.
Ini untuk teman, bukan mantan. Karena pertemanan itu yang lebih melekat
dalam ingatanku. Ini bentuk terima kasih yang beberapa tahun lalu
menyelamatkanku dari keterpurukan. Ini sebagai bentuk peringatan kepada setiap
wanita di luar sana, untuk menggunakan logika dan menghargai orang yang
baik. Juga untuk peringatan semua
laki-laki di luar sana kalau kebaikan ketulusan dalam wujud apapun pasti
membekas dalam ingatan seorang wanita.
Semua itu tak harus dibalut dengan cinta, semua itu tak harus berakhir
dalam sebuah jaji suci pernikahan, tapi inspirasi yang dia tebarkan mampu
menumbuhkan harapan seseorang bahwa dalam dunia yang carut marut ini, masih ada
orang yang baik, manusia yang mau berbuat baik sekalipun itu untuk orang yang
pernah menyakitinya.
Karenanya aku pun ingin menjadi wanita yang baik. Karena itu aku ingin
membekas dalam ingatan dan menjadi inspirasi pada jiwa-jiwa yang sedang
terguncang, jiwa-jiwa yang mulai kehilangan harapan, bahwa buktikan masih
banyak manusia baik di dunia ini.
Pria yang banyak mengumbar cinta, mengumbar-umbar kata belumlah tentu mampu
membekas dalam ingatan seorang wanita. Karna semua itu butuh niat yang tulus.
Dan ini akan menjadi pelajaran berharga bagi hidupku, betapa aku tidak akan
menyianyiakan pria baik. Aku akan mengupayakan yang terbaik jika lagi aku
menemukannya, aku tak akan hanya menggunakan hati tapi juga logika.
Aku jadi sadar, apapun kebaikannya tak akan pernah bisa aku balas. Tapi aku
bisa meneruskannya melalui perbuatan baik pula. Kebaikan hanya bisa dibayar
dengan kembali menebar kebaikan. Karna kebaikan itu tak ternilai, tak akan bisa
terbayarkan.
Ris, beberapa waktu lalu (tahun kapan aku lupa) kau sempat cerita betapa susahnya jalan
hidup, tapi dengan ini semoga kamu tetap percaya bahwa arti kehidupan itu masih
ada. Dengan tahu kehadiranmu bermanfaat untuk orang lain semoga kamu tak
berhenti menjadi manusia baik betapapun susahnya.
Selamat menempuh hidup baru ya, aku yang paling tahu
bahwa kamu tidak sedang meminang seorang wanita, tapi kamu sedang mengikrarkan
orang itu menjadi satu-satunya ratu di kehidupanmu. Sukses selalu, semoga bisa
mengendalikan bahtera rumah tangga dengan baik, menjadi imam yang baik dan
selalu menjadi manusia yang baik.
Comments
Post a Comment