Skip to main content

Satu Tambah Satu




 Orang bodohpun tahu berapa jumlahnya. ‘Satu tambah satu’ mutlak ‘dua’. Puluhan tahun silam aku memaksanya tetap menjadi sama dengan ‘satu’. ‘Satu ditambah satu’ harus menjadi ‘satu’! Kataku. Aku bukan orang matematika, pun tak tahu sejarah angka. Aku miskin pengetahuan tentang bagaimana angka pertama kali muncul, mengapa di sebut ‘satu’? mengapa berbentuk lonjong dan tipis menyerupai tiang listrik atau lebih sering mirip sapu lidi? Siapa yang pertama kali menciptakan dan mendeklarasikannya? Guru matematikaku pun tidak pernah membahas soal itu. mungkin bagi mereka itu tidak penting, pula tak berkonstribusi pada nilai matematika murid. Namun, guru sejarah pastilah menyadari bahwa filosofi itu perlu. Semua berakar dari sejarah, dan akan berakhir menjadi sejarah.
 
Angka satu itu kutemukan pada diriku puluhan tahun silam. Lalu, kembali aku menemukanya pada dirimu beberapa tahun setelahnya. Berkali-kali kuutak-utik hasilnya tetap sama! ‘Satu ditambah satu’ itu sama dengan ‘dua’. Aku paksakan mencari cara lain, rumus lain. Aku putar-putar, aku andai-andai hasilnya tetap sama = 2. Saat itu hatiku pilu. Memberontak pada keadaan, pada diri sendiri. Mengapa aku harus berangka ‘satu’? Dan mengapa kaupun demikian? Aku berimajinasi merubah diri menjadi ‘nol’, atau kau yang berubah menjadi ‘nol’.  Tapi wanita lebih pantas menyandang ‘nol’. Itulah mengapa kita tidak bisa menjadi ‘satu’. Sekuat apapun kita berusaha, hasilnya akan menjadi ‘2’. Tidak pernah bisa ber’satu’.

Sejak saat itu aku tak pernah lagi bermain angka. Tapi, kali ini lagi-lagi aku bermain prakiraan seperti dulu, kali ini bukan angka, tapi kartu. 

Derap cemas membalutiku. Kupejamkan mata, menarik nafas. Buka! Dan munculah Raja Emperor. Kata Emperor mengingatkanku pada salah satu tokoh kartun Dragon Balz yang dulu kutoton setiap minggu tanpa absen. Berarti seperti raja hijau dan menjijikkan itu? apa benar separah itu? kubaca penjelasan, Ego tinggi, haus kekuasaan, ambisius, melakukan apa saja demi keinginan. Terlihat santai dan tenang, bertarget tinggi, supel, loyal, decision maker, pemimpin, pengambil resiko. Saya menarik nafas! Hampir setiap kata yang kubaca terasa panas.

Perjalanan belum berakhir, satu lagi. Setelah detail masuk, mataku kembali terpejam, menarik nafas, dan Emperor. Sama. Sekejap aku kecewa. 

Kartu yang sama apa bisa berarti angka yang sama? Heeiiii...., ini permainan kartu bukan angka, kata setan kanan. Iya tapi hasilnya sama apa bedanya dengan kasus satu ditambah satu, kata si kiri. Aku bingung mendengar, keduanya bertengkar berusaha mendominasiku. Kuabaikan ke dua setan. Aku sendiri yang harus putuskan. Kejadian bodoh dulu tidak boleh terulang. Mencoba mengganti ‘satu’ menjadi ‘nol’ maupun meneruskannya meski sudah tahu hasilnya ‘dua’ bukan ‘satu’. Tapi ketika aku berusaha objektif, yang tergambar adalah kekecewaan. Sama berarti cukup, sama itu berarti tidak bisa melengkapi. Dan itu artinya berarti.......’dua’. Tidak bisa bersatu. Tidak mungkin bersatu.

Huufffttt....aku menghela nafas. Kali ini aku dihantui ‘satu’, ’dua’, ’emperor’, ’egois’, ’ambisius’ semua berputar-putar menimbulkan guratan-guratan cahaya yang menyilaukan mataku, pusing. 

Rasanya seperti ingin mengelak. Tapi bila demikian, itu berarti sama halnya dengan kebodohanku dulu membiarkan ‘satu tambah satu’ berjalan, berharap waktu akan mengubahnya menjadi ‘satu’, bukan ‘dua’.  

Logikaku kalah. Harusnya semua berakhir. Tapi selalu saja rasa melemahkan logika. Jadi saat itu kuputuskan, aku satu langkah di belakangmu. Ini hanya soal garis. Bila tidak bisa dibuat horizontal, maka kita buat vertikal. Asal sela jemariku tak lagi kosong.

Comments

Popular posts from this blog

Sentilan Kumpulan Puisi Ublik Karya Ono Sembunglango

Puisi bukan hanya soal keindahan tata bahasa dan olah kata. Puisi mempunyai pencipta yang olehnya terdapat kedalaman rasa. Ini bukan soal data, tapi karya yang dilahirkan dari perpaduan antara kepekaan, perasaan mendalam dan kemampuan untuk menafsirkannya.  Setiap sastrawan melahirkan keresahan yang menyelubungi pikiran dan tubuhnya, sebagaimana Ono Sembunglango ketika melahirkan “Ublik” -yang merupakan kumpulan buku puisi pertamanya.  Meski bukan lahir dari daun lontar dan kertas Sinar Dunia, Ublik yang dikumpulkan melalui catatan media digital ini tetap menjadi sebuah catatan keresahan yang mewakili suatu masa. Pak Ono, mungkin begitu saja saya memanggilnya. Seorang yang saya temui dalam event blogger 2 Oktober 2024 lalu. Saya -yang bukan siapa-siapa dan baru dalam dunia blogger ini- tidak begitu banyak mengenal orang, dan saya tidak akan mengenal beliau andai kata teman sebelah saya tak menyebut kata Sutardji Calsoum Bahcri, sang maestro puisi mbeling. Ia bilang Sutardji ...

Mengendus Buku Jurnalisme di Luar Algoritma

Ada yang berubah dari wajah jurnalisme kita. Masyarakat di era ini membutuhkan kecepatan, berita harus diramu secara cepat kalau tidak mau ketinggalan. Tak dipungkiri wartawan kalah adu cepat dengan warga yang berada di tempat.  Soal kode etik mungkin mereka tak paham tapi kecepatan tentu tak diragukan. Siapa peduli dengan kode etik di jaman ini? Publik lebih menikmati video kejadian yang diambil para amatir dengan dalih originalitas. Soal akurasi tentu media juara, tapi kecepatan bisa jadi sebaliknya.  Sebenarnya hal seperti ini sudah bisa terendus dari belasan tahun lalu, saat di mana kemampuan handphone semakin di upgrade dan internet semakin dekat dengan masyarakat. Jurnalisme warga kala itu disambut sukacita sebelum pada akhirnya membuat tatanan dunia digital semakin chaos . Roma perubahan ini tentunya terendus media sedari lama, namun beda hal soal tanggapan. Ada yang bergerak cepat dan berupaya menyesuaikan diri tapi ada juga yang perlu lebih dulu mengkaji. Di luar cep...

Merayakan Ulang Tahun dengan Glamping di Puncak Bogor

  Laki-laki memang sulit ditebak. Dari sekian banyak tawaran hadiah ulang tahun yang saya tawarkan, suami justru memilih camping. Masalahnya, kami berdua bagai langit dan bumi, kutub utara dan selatan. Berbeda dalam segala hal termasuk memilih tempat liburan. Suami cenderung memilih tempat-tempat tenang, tidak banyak orang, dingin dan bisa beristirahat seperti camping dan hiking sementara saya lebih suka ramainya pasar, konser musik, serta wisata-wisata kota. Tapi karena ini soal hari jadi suami maka saya harus banyak-banyak mengalah. Yah bolehlah camping asal jangan dulu hiking . Sebenarnya sudah lama juga saya ingin menemaninya hiking tapi memang kondisi belum cukup baik dan saya belum berdamai dengan udara dingin. Kipasan satu jam saja saya tidak kuat apalagi menahan dinginnya gunung?! Lalu kami pun melakukan deal-dealan dan sampailah ke kata glamping. Istilah glamping belakangan cukup populer, bukan? Camping tapi glamor. Kalau camping kita masih harus repot-repot membawa...