Skip to main content

Putri Tanpa Istana



Setahuku putri pasti punya istana atau kerajaan. Ketika pertama kali aku lahir di bumi ini tentu aku tak tahu apa itu putri, lima tahun setelahnya barulah aku tahu apa itu putri. Putri yang pertama ku kenal adalah Putri Diana, walaupun bukan putri sejati. Yang dimaksud putri sejati adalah wanita yang lahir dari rahim ratu dan dibuahi oleh raja dari suatu kerajaan tertentu. Jadi Diana itu bukan putri, dia hanya wanita biasa yang diangkat menjadi putri karena berhasil usaha memikat hati pangeran. 

Diana sama seperti Cinderela, yaitu aku (bhahahaha). Aku memang gemar dengan cinderela, dan bukan Snow White, bukan juga Rupanzel, kenapa? Karena mereka benar berdarah istana, sedang aku? Aku putri rakyat jelata, jadi kiralah cinderela yang masih memungkinkan untuk kuikuti jejaknya. Cinderela suka bermain politik, dia sengaja datang terlambat untuk menjadi sorotan, dalam ilmu marketing itu sebuah positioning dan timing yang tepat, dikala pangeran jemu dengan puluhan wanita cantik, dia muncul sendiri. Otomatis mata pangeran tertuju padanya. Dibalik kelembutan dan kecantikannya dia ternyata cerdas, adakalanya itu dinamakan ‘licik’.

Entah karena kecantikannya, entah karena kelicikannya aku jatuh cinta pada cinderela, dan itu yang membuatku berlagak ala-nya di setiap acara, datang terakhir dan mempesona, hahaha setiap orang mengernyit akan sikapku dan terpaksa memanggilku ‘cinderela’. Para pria terpesona ke arahku persis seperti prediksiku. Itu aku yang terobsesi menjadi cinderela! Tapi betapapun keras usahaku, tetap aku ini bukan putri!

Putri yang pernah aku perankan tapi tak tahu wujudnya adalah putri Sarinandi. Aku tak pernah melihat di buku maupun di televisi wujud dari putri itu, yang aku tahu, Putri Sarinandi, menyebarkan wangi,dan setiap siang malam sang dewi menari, aku berlenggok di atas panggung dengan membawa sebuah mangkuk berisi kembang, berlenggok ke kanan kemudian menaburnya, beralih ke kiri kemudian menaburnya lagi. Di belakangku teman pria sekaligus tetanggaku membawa payung mengikuti arah lenggokanku, geraknya yang kaku dan tak bisa mengikutiku membangkitkan gelak tawa penonton. Itu Putri Sarinandi, yang pun wujudnya aku tak pernah tahu, juga istanahnya.

Pengetahuanku tentang putri hanya itu, dan aku tak ingin menambahnya karena itu hanya akan meranakan keadaanku yang hanya putri rakyat jelata. Itu akan membuatku semakin bermimpi, coba katakan wanita mana dimuka bumi ini yang tidak ingin menjadi putri? Putri untuk pangeran mereka? 

Tapi, tiba-tiba putri datang!

Wanita itu bernama putri. Tapi aku kembali menatapnya dalam-dalam, apa benar dia putri? Maksudku seorang ‘putri’? kalau bukan mengapa ke dua orangtuannya berani menamainya putri? Itu artinya mereka menginginkan gelar itu melekat pada anaknya, selamanya! Sebuah gelar kebangsawanan!

Timbul kecurigaan ketika ia memintaku mematri bahwa ia benar-benar ‘putri’. Kembali aku memperhatikannya dengan saksama. Putri yang ini, tidak punya kerajaan, tidak bermahkota bagaimana mungkin dia seorang putri? Bagaimana aku menyebutnya ‘putri’ karena bagiku putri itu harus punya istana, atau setidaknya menikahi pangeran dari sebuah kerajaan.

Proses penemuan putri menyita waktuku, aku sering termangu bukan karena putri tapi aku heran ternyata banyak nama putri di dunia ini. Tapi dalam misteri putri aku yakin, tidak semua dari mereka adalah putri, banyak  yang menggunakannya sebagai kedok semata, obsesi menjadi putri, seperti halnya diriku yang terobsesi pada cinderela.

Dan putri yang tengah berbicara padaku ini, entah putri, entah bukan! Tapi sorot matanya bening, seperti ada kaca melapisi retinanya. Dia juga bertutur lembut, dan memang begitulah seharusnya seorang putri adanya. Volume suaranya ada pada level satu sehingga membuat intonasinya stabil, lirih. Kadang dia kesal, kadang marah, kadang manja tapi tidak keluar dari set volume satu. Aku iri dengan setingg-an volume suaranya, sepertinya itu dari alam. Bagaimana dia marah namun tidak berteriak seperti aku, aku ingin seperti itu, marah, kesal, cemburu, tetap stabil, tetap pada volume tingkat satu. Aku ingin dunia tahu aku marah, aku kesal tanpa harus meninggikan suara. Itu hal pertama yang aku iri darinya.

Anehnya, biar ucap tutur katanya lembut, tapi pikirannya liar. Iya, pasti dia putri, karena hanya putri yang bisa berfikir di atas rata-rata pikiran kebanyakan orang. Kita sama-sama berfikir liar, walaupun hati kita lebih suka berdamai dengan pangeran. Sepertinya kita tahu, pangeran mana yang patut untuk kita ajak berdamai, walaupun di belakang, kita masih punya gejolak liar buah hasil pemikiran kita.

Putri harus punya aura keputrian, biasanya para pria yang lebih peka akan hal ini, karena itulah aku tak bisa merasakannya. Tapi melihat pria-pria yang menatap dan ingin memilikinya artinya dia punya aura. Sayang, kepekaannya akan tulang rusuk sedikit terganggu, akibanya dia harus mencocokkann beberapa tulang rusuk dan memadankannya, tapi entah itu ‘salah’ atau memang ‘keenakan’ saat salah?

Memang dia punya aura, sama seperti ketika dia menggembor-gemborkannya. Aura itu yang mendominasi dirinya hingga setiap logat, gerak-gerik dan tulisan yang dia tulis melumpuhkan para pria. Pria tidak hanya jatuh hati padanya tapi ingin bergerak mencumbuinya. Itu pasti karena aura,tidak mungkin tidak! Nyatanya pria-pria itu tidak bergerak untuk mencumbuiku, mereka bergerak mencumbui putri. Kau bayangkan, jaman  dulu dalam setiap sayembara, seluruh pria baik rakyat jelata maupun pangeran pasti berlomba memenangkannya, semua ingin putri, mereka mendamba putri dan bukan wanita biasa. Itulah mengapa aku sedikit bisa menerima kalau dia memang benar-benar putri.

Hey, aku baru ingat! Aku tak pernah melihatnya menangis. Iya! Aku yakin aku tak pernah melihatnya menangis! Apa dia tidak punya airmata? Di mana airmatanya? Aku coba mengingat-ingat negeri dongeng, apa benar seorang putri tak punya air mata? Sepertinya benar, berarti kemungkinan memang dia putri. Dia tak berairmata di depan orang, mungkin di kamar, mungkin di hadapan Tuhan, tapi rakyat tak perlu tahu bahwa airpun bisa mengalir dari ke dua matanya.

Tapi aku masih tetap ragu kalau dia benar seorang putri. Aku menanyakan kembali singgasanannya, ‘mana istanahmu?’ tanpa istana aku tetap tak mau menyebutmu putri! Apa bedanya denganku yang juga tak beristana? Dan misteri ini perlu dipecahkan. Harusnya seluruh wanita bergelar putri di negeri ini diadakan ujicoba sertifikasi keputriannya. Apa benar mereka layak menyandang nama ‘putri’ dan memakainya sehari-hari? Atau hanya bergelar dan berlagak seolah-olah mereka adalah ‘putri’.

‘Mana istanamu?’ kembali aku bertanya. 
‘Aku tak punya istana tapi aku bisa membuatnya!’ jawabmu.
‘Bagaimana bisa?!’ tanyaku lagi.
‘Aku punya seluruh negeri, seluruh dunia bahkan jagat raya, membuat istana sungguh hal yang mudah bagiku!’ jawabmu.
‘Aku tak mengerti!’ aku termangu.
‘Bukankah kita ratu jagat raya, kita bisa membuat dunia, cerita bahkan istana sesuai keinginan kita? Itu tugas kita bukan?’ katamu lagi.

Heemmm....aku tersenyum. Dia benar-benar seorang putri, dan bukan bernama ‘putri’. Dia meninggikan tulisanku yang hina, tak mencela walaupun masih belepotan. Dia tak pernah merendahkan sekalipun kita tak setara. Dia tau bagaimana cara membuat nyaman, dan bukankah begitu sikap dari seorang putri? Putri itu bijaksana, adil, pemaaf namun tegas akan sesuatu yang diyakininya, dengan begitu rakyat merasa terayomi, merasa nyaman dan terjaga kesejahteraanya.

Kita ini para pelukis mimpi, para penulis kehidupan! Membuat istana dan menjadikan diri putri itu mudah, aku tinggal menuliskannya, bahkan aku bisa pilih pangeran manapun yang aku suka, tapi mempunyai sifat dan watak putri itu tidak mudah, tidak semua orang bisa!

Dia benar putri tanpa istana!

Special to Putri Nurwita

Comments

Popular posts from this blog

Sentilan Kumpulan Puisi Ublik Karya Ono Sembunglango

Puisi bukan hanya soal keindahan tata bahasa dan olah kata. Puisi mempunyai pencipta yang olehnya terdapat kedalaman rasa. Ini bukan soal data, tapi karya yang dilahirkan dari perpaduan antara kepekaan, perasaan mendalam dan kemampuan untuk menafsirkannya.  Setiap sastrawan melahirkan keresahan yang menyelubungi pikiran dan tubuhnya, sebagaimana Ono Sembunglango ketika melahirkan “Ublik” -yang merupakan kumpulan buku puisi pertamanya.  Meski bukan lahir dari daun lontar dan kertas Sinar Dunia, Ublik yang dikumpulkan melalui catatan media digital ini tetap menjadi sebuah catatan keresahan yang mewakili suatu masa. Pak Ono, mungkin begitu saja saya memanggilnya. Seorang yang saya temui dalam event blogger 2 Oktober 2024 lalu. Saya -yang bukan siapa-siapa dan baru dalam dunia blogger ini- tidak begitu banyak mengenal orang, dan saya tidak akan mengenal beliau andai kata teman sebelah saya tak menyebut kata Sutardji Calsoum Bahcri, sang maestro puisi mbeling. Ia bilang Sutardji ...

Mengendus Buku Jurnalisme di Luar Algoritma

Ada yang berubah dari wajah jurnalisme kita. Masyarakat di era ini membutuhkan kecepatan, berita harus diramu secara cepat kalau tidak mau ketinggalan. Tak dipungkiri wartawan kalah adu cepat dengan warga yang berada di tempat.  Soal kode etik mungkin mereka tak paham tapi kecepatan tentu tak diragukan. Siapa peduli dengan kode etik di jaman ini? Publik lebih menikmati video kejadian yang diambil para amatir dengan dalih originalitas. Soal akurasi tentu media juara, tapi kecepatan bisa jadi sebaliknya.  Sebenarnya hal seperti ini sudah bisa terendus dari belasan tahun lalu, saat di mana kemampuan handphone semakin di upgrade dan internet semakin dekat dengan masyarakat. Jurnalisme warga kala itu disambut sukacita sebelum pada akhirnya membuat tatanan dunia digital semakin chaos . Roma perubahan ini tentunya terendus media sedari lama, namun beda hal soal tanggapan. Ada yang bergerak cepat dan berupaya menyesuaikan diri tapi ada juga yang perlu lebih dulu mengkaji. Di luar cep...

Merayakan Ulang Tahun dengan Glamping di Puncak Bogor

  Laki-laki memang sulit ditebak. Dari sekian banyak tawaran hadiah ulang tahun yang saya tawarkan, suami justru memilih camping. Masalahnya, kami berdua bagai langit dan bumi, kutub utara dan selatan. Berbeda dalam segala hal termasuk memilih tempat liburan. Suami cenderung memilih tempat-tempat tenang, tidak banyak orang, dingin dan bisa beristirahat seperti camping dan hiking sementara saya lebih suka ramainya pasar, konser musik, serta wisata-wisata kota. Tapi karena ini soal hari jadi suami maka saya harus banyak-banyak mengalah. Yah bolehlah camping asal jangan dulu hiking . Sebenarnya sudah lama juga saya ingin menemaninya hiking tapi memang kondisi belum cukup baik dan saya belum berdamai dengan udara dingin. Kipasan satu jam saja saya tidak kuat apalagi menahan dinginnya gunung?! Lalu kami pun melakukan deal-dealan dan sampailah ke kata glamping. Istilah glamping belakangan cukup populer, bukan? Camping tapi glamor. Kalau camping kita masih harus repot-repot membawa...