Skip to main content

Kotak Hitam


 
Yaitu 2 bulan yang lalu aku masih melakukan rutinitas di sebuah kotak. Galau aku bila mengingat pagi sebelum jam 7, sore sebelum jam 5, dan beberapa orang di sana. Tapi muak aku mengingat keterarturan yang mematikan kreativitas, kesaklekan yang mubazir, keegoisan demi mempertahankan hidup, dan kepanasan otak karna sikap beberapa orang menarik dan memaksa untuk dibicarakan!

Apa yang tidak aku dapat? Semua sudah aku miliki. Semua hal yang dulu hanya ada dalam mimpi di sana sudah berhasil aku beli. Lalu apalagi? Entahlah! rasanya banyak hal yang harus aku beli, entah kenapa hasrat itu tidak bisa berhenti.  

Coba tengok kamarku, penuh dengan sampah! Sepatu berjejer rapi di box dan masih baru. Entah tahun kapan aku membelinya, bahkan aku sendiri lupa isi masing-masing box itu kalau saja aku tidak membukanya. Jilbab full color komplit dengan gradasi warna dan model segala rupa, jumlahnya mungkin ratusan kalau saja aku tidak membagi-baginya. Lalu apa? Buku-buku terbaru, bestseller, berjejer rapi di rak. Baju-baju, gamis dan .....ah....lihatlah sendiri! Temanku bilang barangku berlebihan! Tapi tidak! Aku merasa kurang! Nyatanya, setiap kali aku pergi aku pasti beli lagi. 

Rasanya seluruh barang itu tidak cukup mengganti segala keluhku di kotak itu, masih kurang! Menikah? Rumah? Ah! Aku tidak memikirkanya, bagaimana bisa aku menabung dan mengirit uang jajanku untuk membeli rumah. Aku susah-susah menghabiskan waktu membanting tulang, memeras keringat, bagaimana mungkin uang jajanpun harus dibatasi, itu seperti kerja rodi! Jadi aku putuskan untuk tidak membeli rumah. Lalu uang-uangku? Mereka aku tebar ke segala penjuru, aku membeli kebahagiaan! Di manapun dijual aku pasti menghampirinya dan membelinya, betapapun harganya, sekalipun aku harus berhutang, merengek kepada ke dua orang tua, meminjam teman, apapun asal aku bisa membelinya.  Di belahan dunia manapun pasti aku temukan, bahkan di Singapura, Jepang, Australia, Afrika dan semua!!!

Jadi di sana aku benar-benar mendapatkan segalanya. Aku mampu membeli segalanya! Bahkan orang-orang iri padaku, teman-teman honorer sangat iri padaku. Mereka berandai-andai menjadi aku, membeli barang-barang dengan tangan sendiri, membantu perekonomian keluarga, dan tidak seperti mereka yang masih menagih uang ke orang tua. 

Tapi, tiba-tiba aku memutuskan untuk mengakhiri segalanya! Aku keluar dari dunia yang telah menjunjung tinggi harkat martabat finansialku, dan segala kemewahan yang ditawarkannya. Untuk berdiam diri, merenung. Awalnya aku pikir aku akan tetap mencari kebahagiaan yang selama ini aku agung-agungkan, tapi tidak! Setelah aku menghirup udara bebas, setelah aku merasakan sendiri panasnya mentari pagi dan kilauan pancaran embun jam 8 pagi di halaman rumah, aku tiba-tiba berubah pikiran. Entahlah, tapi aku tak menginginkan lagi kebahagiaan itu! kebahagiaan yang selama ini aku beli mahal-mahal hingga ujung dunia.

Kebahagiaan yang aku cari selama ini itu ternyata tidak ada! Kebahagiaan itu hanya kilasan semu yang diciptakan oleh kotak itu, dan itu hanya bisa dirasa saat aku berada di sana. Aku terhenyak! Ternyata selama ini aku berada dalam sebuah kotak gelap. Apa yang aku pikirkan apa yang aku rasakan itu adalah hasil bangunan ilusi semata. Tempat itu seolah punya bayangan sendiri, punya pandangan yang dianut dan diyakini para manusia di dalamnya! Mereka semua meyakini dengan pandangan kosong. Ah, aku tak tega menyebut diriku sendiri sebagai ‘mayat hidup’, karena itu seolah membunuh diriku sendiri dan mereka yang masih di sana. Tapi hey....! teman-teman aku disini! Hati-hati, jangan terjebak ilusi mimpi dari kotak itu. Mereka melumpuhkan dan melemahkan logika, harapan dan cita-cita kalian! Menakut-nakuti kalian seolah di luar lebih kejam, dan mematikan harapan seolah itulah nasib kalian.

Aku tak tahu apa yang kalian rasa, yang aku tahu kebahagiaan itu ternyata sederhana! Bahkan aku tak perlu membelinya! Itu murah dan berterbaran di mana-mana! Saat aku bisa makan nasi dengan lauk seadanya tiba-tiba aku merasa bahagia, entah kenapa! Kebahagiaan sering menghampiriku dan berbincang denganku padahal aku sudah berkata ‘tapi aku tidak punya uang untuk membelimu’ tapi dia menjawab ‘kau tidak perlu uang untuk bisa bercumbu denganku, cukuplah kau gerakkan hatimu dan aku akan datang’. Aku menangis teman, aku menangis ketika kebahagiaan berkata seperti itu padaku.

Hinalah aku selama ini menghina mereka dengan harta! Membelinya seolah mereka itu pelacur! Padahal kebahagiaan itu tulus teman....kita tak perlu membelinya. Mereka hanya ingin hati kita, ketulusan kita dan keikhlasan kita. Mereka tidak mengingkan keringat kita, atau emosi kita terkuras hanya untuk membeli mereka. 

Aku memang tak berharta, tapi aku tidak perlu lagi membeli kebahagiaan semu itu. Tuhan telah menjodohkan kebahagiaan kepada setiap insan manusia, hanya saja kebanyakan dari kita seperti halnya aku menampiknya, sok pintar dan merasa tahu kebahagiaan yang sesungguhnya. Aku tidak berharta teman, tapi untuk apa juga aku berharta bila itu harus kuhambur-hamburkan dengan alasan ‘membeli kebahagiaan?’ harta itu, uang itu sekarang terasa semu, bukan? 

Kotak itu mematri pikiranku. Menciutkan nyaliku. Menjegal setiap langkahku. Mereka berkata ‘apa di luar kau bisa menemukan yang lebih baik?’, ‘apa jadinya menikah kalau kau sendiri tidak punya waktu untuk dirimu sendiri?’, ‘mau makan apa kamu?’. Standar-standar yang mereka kemukakan itu palsu,itu semu, itu hanya berlaku di tempat itu! Kotak itu seperti medusa, setiap desahan suaranya seolah menghantuiku, menghantuimu! Ular-ular itu siap menertawakanmu bila kau melangkah dan kemudian jatuh. Mereka tersenyum sinis, tertawa berbahak-bahak dan menjilat-jilatimu untuk tetap di tempat. 

Menarik nafas. Kesal aku mengingatnya. Aku sendang menggali syukur. Dengan mengingat kotak itu. Dan ternyata kotak itu manjur dijadikan obat! Satu-satunya ramuan obat syukur yang paling mujarab! Aku kini sedang mendekati kebahagiaan, mencumbunya dengan perlahan, penuh ketulusan, aku tidak mencari harta toh itu hanya akan dipakai untuk membeli kebahagiaan. Padahal kebahagiaan itu tidak serumit itu, tidak semahal itu, mereka dekat dengan kita.

Lalu aku membuka, beberapa box sepatuku,masih baru! Perlahan jemariku menelusuri buku-buku di rak, masih terbungkus plastik rapi belum terbuka. Aku buka almari, mendapati jilbab-jilbab yang masih wangi, masih baru dan bahkan beberapa style aku lupa pernah membelinya. Jadi, untuk apa aku membeli ini semua?? Kalau ternyata aku sendiri tak pernah punya waktu untuk menikmatinya? *Pikirlagi*

Comments

Popular posts from this blog

Sentilan Kumpulan Puisi Ublik Karya Ono Sembunglango

Puisi bukan hanya soal keindahan tata bahasa dan olah kata. Puisi mempunyai pencipta yang olehnya terdapat kedalaman rasa. Ini bukan soal data, tapi karya yang dilahirkan dari perpaduan antara kepekaan, perasaan mendalam dan kemampuan untuk menafsirkannya.  Setiap sastrawan melahirkan keresahan yang menyelubungi pikiran dan tubuhnya, sebagaimana Ono Sembunglango ketika melahirkan “Ublik” -yang merupakan kumpulan buku puisi pertamanya.  Meski bukan lahir dari daun lontar dan kertas Sinar Dunia, Ublik yang dikumpulkan melalui catatan media digital ini tetap menjadi sebuah catatan keresahan yang mewakili suatu masa. Pak Ono, mungkin begitu saja saya memanggilnya. Seorang yang saya temui dalam event blogger 2 Oktober 2024 lalu. Saya -yang bukan siapa-siapa dan baru dalam dunia blogger ini- tidak begitu banyak mengenal orang, dan saya tidak akan mengenal beliau andai kata teman sebelah saya tak menyebut kata Sutardji Calsoum Bahcri, sang maestro puisi mbeling. Ia bilang Sutardji ...

Mengendus Buku Jurnalisme di Luar Algoritma

Ada yang berubah dari wajah jurnalisme kita. Masyarakat di era ini membutuhkan kecepatan, berita harus diramu secara cepat kalau tidak mau ketinggalan. Tak dipungkiri wartawan kalah adu cepat dengan warga yang berada di tempat.  Soal kode etik mungkin mereka tak paham tapi kecepatan tentu tak diragukan. Siapa peduli dengan kode etik di jaman ini? Publik lebih menikmati video kejadian yang diambil para amatir dengan dalih originalitas. Soal akurasi tentu media juara, tapi kecepatan bisa jadi sebaliknya.  Sebenarnya hal seperti ini sudah bisa terendus dari belasan tahun lalu, saat di mana kemampuan handphone semakin di upgrade dan internet semakin dekat dengan masyarakat. Jurnalisme warga kala itu disambut sukacita sebelum pada akhirnya membuat tatanan dunia digital semakin chaos . Roma perubahan ini tentunya terendus media sedari lama, namun beda hal soal tanggapan. Ada yang bergerak cepat dan berupaya menyesuaikan diri tapi ada juga yang perlu lebih dulu mengkaji. Di luar cep...

Merayakan Ulang Tahun dengan Glamping di Puncak Bogor

  Laki-laki memang sulit ditebak. Dari sekian banyak tawaran hadiah ulang tahun yang saya tawarkan, suami justru memilih camping. Masalahnya, kami berdua bagai langit dan bumi, kutub utara dan selatan. Berbeda dalam segala hal termasuk memilih tempat liburan. Suami cenderung memilih tempat-tempat tenang, tidak banyak orang, dingin dan bisa beristirahat seperti camping dan hiking sementara saya lebih suka ramainya pasar, konser musik, serta wisata-wisata kota. Tapi karena ini soal hari jadi suami maka saya harus banyak-banyak mengalah. Yah bolehlah camping asal jangan dulu hiking . Sebenarnya sudah lama juga saya ingin menemaninya hiking tapi memang kondisi belum cukup baik dan saya belum berdamai dengan udara dingin. Kipasan satu jam saja saya tidak kuat apalagi menahan dinginnya gunung?! Lalu kami pun melakukan deal-dealan dan sampailah ke kata glamping. Istilah glamping belakangan cukup populer, bukan? Camping tapi glamor. Kalau camping kita masih harus repot-repot membawa...