Skip to main content

Sebuah Hati Untuk Praba




Tangan Uli sigap membuka buka data kartu anggota perpustakaan.  “P” dia menuju abjad P. Dibukanya dengan teliti satu per satu kartu peminjaman buku yang berinisial hurup P. Pa...Pe....Pi...Pra...nah ketemu. “Praba Pradita Aji”. Uli mengecek list buku peminjaman terakhir. 10 Juni  2013, harusnya ke dua buku yang dipinjam sudah kembali, ini kelewat 2 bulan sudah. “Hufftt...” Uli menghela napas.

Uli memandangi kartu putih di tangannya, No. 1246. Melirik sebentar ke arah foto 2x3 di sudut kiri kartu. Menyadari ada yang berdesir di bagian hatinya,buru-buru Uli mengalihkan pandangan ke daftar list buku pinjam yang tertera di bawah kop kartu.  

No
Judul Buku
Tgl Pinjam
Tgl kembali
1
Konspirasi Lapindo
02/03/2013
09/03/2013
2
12/03/2013
19/03/2013
3
Tifa Penyair dan daerahnya
27/03/2013
03/04/2013
4
Layar Terkembang
15/04/2013
22/04/2013
5
Angkatan 66:Prosa dan puisi jilid 2
25/04/2013
02/05/2013
6
07/05/2013
14/05/2013
7
10/06/2013

8
Catatan seorang Demonstran
10/06/2013


Pemilih kartu tersebut mencuri perhatian Uli. Bukan! Bukan Cuma perhatian, tapi juga, hati Uli.  Seorang pria yang aneh, batin Uli.  Dandanan serba cuek, kaos oblong, jeans yg menyempit pada pergelangan kaki, sepatu snakers, dan sebuah tindik warna hitam ada pada daun telinga sebelah kirinya.  Mukanya lumayan untuk menakhlukan hati para wanita. Tapi bukan karena itu Uli jatuh cinta.  Awalnya Uli hanya penasaran, anak dengan penampilan seperti itu, tidak sebaiknya berada di perpustakaan.  Tapi kenyataanya dia ada di sana. Dengan buku-buku pinjaman yang bisa dibilang, lumayan.

1 meter di balik rak-rak buku sastra. Tengah membolak-balik sebuah buku yang kemudian judulnya tertangkap oleh mata Uli “Pada Sebuah Kapal”. Oh, buku NH.Dini, pikir Uli. Itu awal pertama kalinya Uli melihat Praba. Lewat kesan yang aneh, yang kemudian berlanjut pada rasa penasaran. 

Mungkin dia mahasiswa jurusan Sastra, eh bukan, Ekonomi, eh mungkin juga Psikologi, terka Uli. Apapun dia seleranya, lumayan. Apapun dia, yang jelas telah membuat seorang Uli tersenyum sendiri tanpa sebab yang jelas, bersemangat berangkat kerja, dan terkadang menangis karena tak kuasa menahan rasa rindu yang Ia himpun sendiri.

Hari-hari Uli lalui dengan berangan tentang Praba, mencoba menerka karakteristiknya melalui kartu peminjaman buku, daftar buku yang di pinjam atau ketepatan waktu pengembalian. Praba termasuk orang yang on time. Tak pernah sekalipun terlambat mengembalikan dari jadwal yang sudah ditentukan. Namun, kali ini Praba sudah mengantongi denda Rp.12.000,- karena 2 bulan terlambat mengembalikan. Tentu bukan nominal denda yang mengganjal hati Uli. Tapi, dia mulai tak kuasa menahan gejolak rindu akan kehadiran Praba. 

Meski tak pernah berbicara, meski hanya menerima uluran bukunya, dan senyum terima kasih karena Uli sudah menyelesaikan administrasi peminjaman, Uli ikhlas, Uli puas.  Berarti sudah 2 bulan juga Uli tidak merasakan desiran hebat dari dalam hatinya ketika menatap punggung Praba menjauh selesai menyelesaikan administrasi peminjaman. Sudah 2 bulan pula Uli tidak mencuri-curi pandang ketika Praba tengah sibuk mondar-mandir mencari-cari sebuah buku, dari satu rak ke rak yang lain.

Padahal 2 hari lagi Praba ultah, begitu info yang tertera pada kartu anggota Praba. Uli sudah bertekad membuatkan sebuah puisi ulang tahun khusus untuknya. Kini puisi tersebut masih tersimpan rapi di balik lipatan notes Uli. Entah akan sampai kepada yang dituju atau akan mengering di dalam notes tersebut, tak ada yang tahu. Uli tak ingin berharap lebih, hanya memberikan ucapan tanpa nama kepada satu-satunya pria yang berhasil menawan hatinya. Uli tak ingin berangan jauh untuk bisa memiliki Praba, toh dengan melihatnya bernapas dan sehat itu sudah cukup. Tapi keinginan itu sekarang malah berbalik mengiris hati Uli, Praba  tidak datang.

2 hari Kemudian..

Praba datang. Tepat dihari ulang tahunnya. Uli kaget tapi juga gembira. 

“Mau mengembalikan buku,” kata Praba sembari tersenyum manis. Dada Uli berdesir kemudian tertunduk tak berani beralama-lama menatap senyum khas itu.

“Hm..sebentar saya cek dulu, “ basa basi Uli sembari mengambil data Praba. Tentunya Uli sudah hafal benar berapa denda, di mana letak datanya, dan buku apa yang Praba pinjam, tapi Uli berakting seolah dia pengunjung biasa seperti yang lainnya.
Uli sadar gerak tangannya diperhatikan Praba, dan itu membuatnya gugup. Dihentikannya aktivitas pencarian, lalu menatap balik ke Praba, 

“Duduk dulu,” sarannya lirih. 

Praba menurut dan duduk di kursi kusus peminjam.

“Terlambat 2 bulan, ya?” tanya Uli pura-pura.

“Iya Mbak, dendanya total berapa, ya?” Praba balik bertanya.

“Hm...jadi totalnya dua belas ribu,” jawab Uli.

“Oh iya..sebentar,” Praba meraih dompetnya dan mencari sejumlah nominal yang disebutkan.

“Ini, Mb” sembari menyodorkan uang Rp.20.000,-

“Kenapa terlambatnya lama sekali ya, Mas?” tanya Uli memberanikan diri dengan rasa penasaran sembari menerima uang tersebut.

“Iya, maaf Mb. Ada acara keluarga harus keluar kota jadi tidak bisa mengembalikan,” jelasnya.

“Oh, begitu. Ini ada yang mau diperpanjang atau mau pinjam buku lain,” tanya Uli datar.

“Pinjam buku lain aja, yang itu sudah selesai,” balas Praba masih dengan senyum khasnya. Praba beranjak dan menuju ke rak buku.  Diraihnya deretan rak psikologi. Entah buku apalagi yang dia cari. 

Uli mencuri pandang dari jauh, akhirnya dia bisa merasakan desiran itu kembali. Akhirnya setelah 2 bulan menanti, kini buncahan rasa rindu itu pun mulai terkendali. Betapa ingin Uli menghentikan waktu pada momen itu. Praba yang tengah mencari buku, dan Uli bisa memperhatikan dari jauh. Ingin rasanya membingkai momen tersebut. Uli tersenyum bahagia.

“Jadinya pinjam ini,” ucap Praba sembari menyodorkan sebuah buku, 

Pilihan yang bagus, batin Uli. 

Di sela-sela pengecekannya, terbesit untuk menyelipkan puisi yang khusus dibuatnya untuk Praba. Dia amati gerak Praba, menyadari sasaran sedang asyik mengamati deretan rak berjajar tak jauh dari tempatnya berdiri. Uli menarik napas, memantapkan hati untuk benar-benar menyelipkan puisi tersebut. Akhirnya batin Uli yakin, dan buru-buru menutup buku di tangannya agar tidak terlanjur berubah pikiran.

“Ini bukunya mas, sudah selesai,” suara Uli mengagetkan Praba.

“Oh, iya, terima kasih ya,“ lagi lagi ditutupnya dengan senyum manis yang membuat dada Uli berdesir.

Belum sempat Praba berbalik tiba-tiba suara menolehkan perhatian mereka

“Udah belom, Dit? Kok lama bener?” Praba menoleh ke arah sumber suara. 

Sesosok wanita menawan hadir dari balik punggung Praba. Wanita itu cantik, benar-benar cantik alami, penampilannya sopan dan elegan, tinggi semampai dan sepertinya, smart. Spontan muncul kecemburan dari hati Uli.

“Lhoh, Raya’! kan tadi aku suruh tunggu di bawah. Ini bukunya dah dapat,” ucap Praba seraya menyodorkan buku ke arah wanita tersebut. Seketika senyum ramah menghiasi wajah wanita cantik itu.

“Hm...kamu tau banget deh yang aku butuhin, oowwh jadi selama ini buku-buku yg kamu pinjami ke aku itu dari sini?” ucap wanita tersebut manja.

“Hm...iya. yaudah ayo berangkat keburu jam 2 acara hampir mulai,” ucap Praba sembari menggandeng lengan wanita itu dan berlalu.

Sejenak jantung Uli berhenti berdetak. Uli merasakan sesak napas yang teramat, seperti ada sebuah batu menutupi saluran pernapasannya. Uli bingung, pikirannya campur aduk. Wanita cantik? Buku? Gandeng lengan? Manja? Apa maksud semuanya? Otak Uli mulai menyatukan potongan-potongan terkaan hasil imajinasinya. Sebuah cerita sudah bisa Uli tebak namun sekuat tenaga ia tepis. 

Jadi selama ini, buku-buku itu, langkah dia menginjakkan kaki di perpus itu, adalah untuk wanita itu? Batin Uli kembali teriris mengingat kedekatan mereka. Mengingat tangan Praba menyahut lengannya dan wanita itu menyambutnya  dengan berucap  manja. Uli menghentikan imanjinasinya, Uli takut semakin sakit. Uli tak kuasa menahan tangis, sekuat tenaga dia berusaha untuk menahan air matanya keluar tapi, tetes demi tetes butiran itu tak bisa dia kuasai. Buru-buru Uli mengusap air matanya sembari memastikan tidak seorang pengunjung pun menyadari air matanya. 

Kertas! oh Tuhan, kertas itu masih ada dalam buku yang mereka bawa. Uli mulai panik, bingung harus bagaimana. Semua seakan sudah terlambat, terlambat untuk mengambil kertas itu dan terlambat menyadari betapa Praba yang terlanjur dia cintai adalah milik orang lain. Seorang wanita yang 100 kali lebih baik dari dia. Dan wanita itu pasti membuka dan membaca puisinya, oh! Uli benar-benar tidak bisa membayangkan. Ia merasa menjadi wanita paling tolol sedunia. Sebuah cermin hatinya harus dibaca oleh orang yang menghancurkan cermin itu sendiri, dan bukan oleh Praba, seseorang yang menjadi alasan dibuatnya puisi tersebut.  Apa wanita itu akan mencibir? Menertawakan Uli dan bangga karena kekasihnya disukai oleh seorang penjaga perpustakaan? Apa dia akan cerita soal puisi itu ke Praba? Apa yang nanti Praba katakan saat dia mengembalikan buku? Betapa Uli ingin melarikan diri dari keadaan yang tengah menghimpitnya. 

Satu hari kemudian.

Praba datang dengan buku yang kemarin dipinjam. Uli mulai gugup. 

“Pagi...mau balikin,” ucap Praba kali ini dengan muka datar. 

Pasti Praba tau soal puisi itu. Uli mulai pasrah.

“Sebentar saya cek datanya, silahkan duduk, mas,” Ucap Uli berusah menenangkan diri.

“Tidak perlu cek, bukankah kemarin aku dari sini?” sergah Praba.

“Ohh...lalu kenapa baru sehari sudah dikembalikan, ya mas?” Ucap Uli lirih seolah tak tahu apa-apa.

“Saya cuma mau mengembalikan ini,” balas Praba seraya menyodorkan sebuah kertas. Tepatnya kertas puisi yang diselipkan Uli di buku Praba.

Uli tertunduk dan menerima uluran kertas tersebut.  Selama 1 menit mereka terdiam.

“Makasih ya, ucapannya. Aku baru tahu ternyata selain melayani pengunjung.....” nada Praba mulai meninggi, “Petugas di sini juga harus mengecek data pribadi anggotanya dan bahkan....” Praba menghentikan ucapannya.

“Bahkan harus memberikan perhatian khusus kepada anggotanya yang berlang tahun,” Praba menyelesaikan ucapanya dengan tegas dan memberi sedikit penegasan pada kata berulang tahun.

Uli masih terdiam, bingung dan takut. Belum pernah dia melihat Praba seserius itu, bahkan tanpa senyum. Uli merasa seperti akan di eksekusi mati!

Tiba-tiba Praba mengulurkan tangan.

“Kenalin, aku Praba Praditha Aji,” Uluran tangan Praba membuat Uli bingung tapi kemudian Uli pun segeramenyambut.

“Aku bukan kutu buku, dan aku kurang suka membaca buku. Aku mahasiswa jurusan seni rupa. Selama ini aku meminjam buku untuk saudariku Raya, cewek yang kemarin kamu lihat. ” Mereka melerai tangan satu sama lain.

“Dia sakit Liver, dan harus perawatan, dia suka membaca buku jadi aku berusaha mencarikan buku apapun yang dia minta. 2 bulan kemarin aku harus mengantarnya berobat ke Singapore, dan kemaren dia sengaja ingin ikut keluar karena aku berulang tahun,” jelas Praba.

“Harusnya kita berkenalan seperti ini supaya kamu tidak berasumsi sendiri tentang aku,” tambah Praba.

“Maksudnya..?” tanya Uli bingung. Oh jadi kemarin itu saudarinya? shit!

“Maksudnya...Uli Ala Ika...UAI,” Praba membaca kartu nama di dada Uli.

“Maaf,aku bukan orang yang kamu gambarkan dalam puisimu,” Praba mengangkat bahu.

Uli masih terdiam, berusaha menguasai diri karna 5 menit yang berjalan ini seperti hal aneh yang susah dia cerna.

“Aku memang tidak seperti yang kamu bayangkan, tapi apa kita tetap bisa berteman?” tanya Praba. 

Kali ini senyuman khas Praba kembali merekah. Uli sedikit lega karena suasana mulai cair. Kembali hatinya bercampur aduk. Desiran yang semalam tersembunyi kini muncul kembali. Kali ini lebih dahsyat. Sedahsyat tatapan Uli ke Praba.

Uli berusaha menahan senyum. Apapun wujud pemuda ini, Uli terlanjur jatuh hati. Mungkin buku-buku itu hanya alasan yang dikirimkan Tuhan untuk mempertemukan mereka.

Mungkin ini sedikit norak, tapi asal kau tahu, tidak ada kata aneh dalam cinta!

Bila aku melihat buku, aku seperti sedang melihatmu.
Kalian punya kesamaan, sama-sama memiliki......
Tuhan,

Dengan membiarkanya tetap bernapas dan tersenyum, adalah kado terindah-Mu untuknya.
-UAI-


Comments

Popular posts from this blog

Sentilan Kumpulan Puisi Ublik Karya Ono Sembunglango

Puisi bukan hanya soal keindahan tata bahasa dan olah kata. Puisi mempunyai pencipta yang olehnya terdapat kedalaman rasa. Ini bukan soal data, tapi karya yang dilahirkan dari perpaduan antara kepekaan, perasaan mendalam dan kemampuan untuk menafsirkannya.  Setiap sastrawan melahirkan keresahan yang menyelubungi pikiran dan tubuhnya, sebagaimana Ono Sembunglango ketika melahirkan “Ublik” -yang merupakan kumpulan buku puisi pertamanya.  Meski bukan lahir dari daun lontar dan kertas Sinar Dunia, Ublik yang dikumpulkan melalui catatan media digital ini tetap menjadi sebuah catatan keresahan yang mewakili suatu masa. Pak Ono, mungkin begitu saja saya memanggilnya. Seorang yang saya temui dalam event blogger 2 Oktober 2024 lalu. Saya -yang bukan siapa-siapa dan baru dalam dunia blogger ini- tidak begitu banyak mengenal orang, dan saya tidak akan mengenal beliau andai kata teman sebelah saya tak menyebut kata Sutardji Calsoum Bahcri, sang maestro puisi mbeling. Ia bilang Sutardji ...

Mengendus Buku Jurnalisme di Luar Algoritma

Ada yang berubah dari wajah jurnalisme kita. Masyarakat di era ini membutuhkan kecepatan, berita harus diramu secara cepat kalau tidak mau ketinggalan. Tak dipungkiri wartawan kalah adu cepat dengan warga yang berada di tempat.  Soal kode etik mungkin mereka tak paham tapi kecepatan tentu tak diragukan. Siapa peduli dengan kode etik di jaman ini? Publik lebih menikmati video kejadian yang diambil para amatir dengan dalih originalitas. Soal akurasi tentu media juara, tapi kecepatan bisa jadi sebaliknya.  Sebenarnya hal seperti ini sudah bisa terendus dari belasan tahun lalu, saat di mana kemampuan handphone semakin di upgrade dan internet semakin dekat dengan masyarakat. Jurnalisme warga kala itu disambut sukacita sebelum pada akhirnya membuat tatanan dunia digital semakin chaos . Roma perubahan ini tentunya terendus media sedari lama, namun beda hal soal tanggapan. Ada yang bergerak cepat dan berupaya menyesuaikan diri tapi ada juga yang perlu lebih dulu mengkaji. Di luar cep...

Merayakan Ulang Tahun dengan Glamping di Puncak Bogor

  Laki-laki memang sulit ditebak. Dari sekian banyak tawaran hadiah ulang tahun yang saya tawarkan, suami justru memilih camping. Masalahnya, kami berdua bagai langit dan bumi, kutub utara dan selatan. Berbeda dalam segala hal termasuk memilih tempat liburan. Suami cenderung memilih tempat-tempat tenang, tidak banyak orang, dingin dan bisa beristirahat seperti camping dan hiking sementara saya lebih suka ramainya pasar, konser musik, serta wisata-wisata kota. Tapi karena ini soal hari jadi suami maka saya harus banyak-banyak mengalah. Yah bolehlah camping asal jangan dulu hiking . Sebenarnya sudah lama juga saya ingin menemaninya hiking tapi memang kondisi belum cukup baik dan saya belum berdamai dengan udara dingin. Kipasan satu jam saja saya tidak kuat apalagi menahan dinginnya gunung?! Lalu kami pun melakukan deal-dealan dan sampailah ke kata glamping. Istilah glamping belakangan cukup populer, bukan? Camping tapi glamor. Kalau camping kita masih harus repot-repot membawa...