Di sebuah ruang kelas yang sudah
diubah menjadi ruang penjurian lomba design iklan. Sebuah meja sepanjang kurang
lebih 4 meter terbentang. Di atasnya, berderet rapi hasil design iklan dari
orang-orang. Masing-masing design tersebut terkemas dalam kertas foto ukuran
asturo. Kurang lebih ada 30 design yang panitia terima. 3 orang juri tengah
berkeliling menatap satu per satu design yang ada. Bu Aya, dosen pembimbing
kegiatan MAC’09 (Marketing and Advertising Contest’09) hadir menemani ke tiga
juri. Seorang rekan dan saya selaku wakil panitia turut memperhatikan dan
memastikan jalannya penjurian sesuai dengan prosedur. Sesekali kami membantu
juri mengenai apa yang mereka butuhkan dan apa yang perlu dibantu. Ruang
tersebut tertutup rapat, terkunci.
Aturannya adalah dari seluruh design
yang masuk, para juri harus menyisihkannya menjadi 10 besar. Seorang juri
mengambil 1 design kemudian menyisihkan ke tempat yang telah ditentukan sebagai
tanda design tersebut terpilih. Diantara mereka saya harap-harap cemas, saya
mengirim satu design dalam ajang tersebut. Memang tidak ada ketentuan panitia
dilarang mengikuti, jadi banyak pula dari teman-teman yang ikut memeriahkan dengan
mengirimkan karya (yang dianggap)terbaiknya.
Sudah 8 design terpilih, kurang 2
lagi. Tidak ada tanda-tanda karya saya akan terpilih. Tak seorang pun dalam
ruangan tersebut tau design saya ada di sana, karena semua design tanpa nama
hanya ada no sebagai penanda. Apa jadinya pula bila mereka tahu saya ikut
mengirim karya sekaligus menyaksikan penjurian? Seorang juri perempuan memilih
2 design melengkapi kekurangan kuota, genap 10 design sudah terpilih. 2 design yang terpilih bukan punya saya. Mungkin itu bukan rejeki saya,pikir saya spontan.
Sesaat kemudian, salah satu juri
pria berkata “Tunggu saya mau memasukkan 2 design lagi, ini dan ini” kata juri
tersebut yang salah satu design di tangannya adalah punya saya, ya Tuhan! “Tapi
ini sudah 10 design” kata juri perempuan. “Iya tapi saya suka 2 design yang
ini, balas juri laki-laki,” Bagaimana Bu Aya, apa boleh kita tambah 2 lagi
menjadi 12 besar? Bu Aya mengangguk membolehkan.
Aturan selanjutnya, dari 12 besar
mereka harus menyaring menjadi 5 besar. Satu design terpilih, 3 dan kemudian
4. Saya berkata dalam hati, tidak
mungkin keberuntungan terjadi dua kali, kali ini saya tidak akan lolos 5 besar.
Tapi ternyata design ke 5 adalah punya saya,ya Tuhan!
Selanjutnya pastilah
menyisihkannya menjadi tiga besar. Dan itu artinya sudah dapat 3 pemenang. Babak
penyisihan ke tiga besar lebih rumit dan berbelit. Ke tiga juri saling
berargumen mengajukan design pilihannya. Bukan hanya harus menyisihkan menjadi
tiga besar, tetapi mereka juga harus menentukan mana juara 1 mana juara 2 dan
mana yang juara 3. Akhirnya setelah perdebatan sengit, dan sempat terjadi
perselisihan, mereka sepakat memilih 3 design. Lagi-lagi design saya masuk ke
tiga besar. Satu juri bersikukuh memasukkan design saya, 1 juri lagi netral tidak
keberatan, tapi juri wanita merasa keberatan pada awalnya walaupun dengan berat
hati akhirnya sang juri wanita mengalah dan terpaksa menerima design saya masuk 3
besar.
Bisa dibayangkan perasaan saya
saat itu, saya menyaksikan sendiri design saya sedang diperdebatkan dan dengan
mata kepala mengetahui bagaimana perjuangannya hingga 3 besar. Sudah tahap 3
besar saya tidak berani bermimpi, bagi saya itu sudah cukup artinya saya sudah
juara. Ingin rasanya saya berlari mencari Agi rekan saya yang menjadi model
dalam design tersebut, memeluknya dan berteriak “Design kita menang Gi’......”
tapi hasrat tersebut berhasil saya tahan. Hanya saya mendekat ke Bu Aya dan
berbisik “Bu, itu yang putih punya saya” kata saya lirih. “Ssstttt...jangan
sampai juri denger, pura-pura ngga’ tau aja,” balas bu Aya lirih. Saya pun
mengerti instruksi beliau.
Perdebatan terakhir penentuan
peringkat kembali lagi terjadi perdebatan. Sang juri wanita menempatkan design
saya pada urutan ke tiga. Saya saksikan lagi bagaimana juri yang selalu membela
design saya itu memperjuangkan design saya untuk berada diperingkat 2 dan terus
berjuang, terus berargumen hingga tiba-tiba design saya bisa ada diurutan
pertama. Saya sendiri masih ragu, ini jurinya ngelantur kali ya, kenapa bisa
jadi urutan satu? Juara dua yang saya ingat adalah design iklan layanan
masyarakat, dan ke tiga saya lupa tapi yang saya ingat itu punya anak Undip.
Lagi-lagi saya ingin berlari memeluk Agi’, dan berteriak “Kita juara satuuuuu
gi’....!” sungguh aneh dan luar biasa,kan? Setidaknya keuangan saya aman saat
itu, bisa bayar hutang ke Mimi dan ikut perpisahan ke Jogja. Huft ...
Ketua MAC’09
“Gus, aku mo ngomong, tapi jangan
kaget ya,” kataku ke Agus sang ketua MAC’09 angkatan kami.
“Hm..opo?” balasnya.
“Tadi aku mengikuti penjurian,
dan yang menang kamu tau siapa?” tanya saya berusaha membuatnya penasaran.
“Sapa emangnya?” balasnya
benar-benar penasaran.
“Punyaku ma Agi’,hehe.”
“Serius? Gila kamu? Ngaco ah!”
kata Agus tak percaya.
“Heh, kalo ngga’ percaya tanya bu
Aya,sekarang gue tanya hadiahnya berapa buat juara 1?” tanya saya.
“Hah? Juara satu ?” balas Agus
setengah kaget.
“Hadiah juara satu duitnya
berapa?cepet bilang,” saya mencoba memaksa.
“Sejuta,”balasnya.
“Lho ko’ Cuma sejuta, orang di
poster bilang total hadiah li..ma...ju..ta...rupiah....” tandas saya.
“Itu kan total Re, jadi hadiah
utama sejuta, juara dua 750, tiga 500 ribu” balasnya.
“Ngga’ bisa gitu
dong...mentang-mentang aku ma Agi yang menang terus hadiahnya Cuma segitu, iya?”
“Ngga’ emang hadiahnya segitu! Oh
ya, kamu tau kondisi event kita kan, banyak yang belum dibayar bahkan jurinya
belum dibayar, jadi hadiahmu kita pake’ dulu buat yang lebih urgent ya? Tar terpaksa
kamu dikasih amplop kosong dulu, pura-pura gitu,” penjelasan Agus cukup
mengagetkan saya.
“Lhoh kok gitu, aku juga butuh
duit Gus, yang bener dong!”
“Re, kok gak ngerti banget sih,
besok pasti kita bayar, sabar aja gitu, terpaksa penyerahan hadiah kamu dikasih
amplop kosong,oke?” tandasnya.
“Eh, kalo aku ma Agi’ ngga’
dikasih itu duit ya, kita ngga’ mau ikut perpisahan ke Jogja. Duit dari mana
kita? Tau kan kita ngga’ ada duit,” balas saya.
“Lho ngga’ bisa gitu dong itu kan
perpisahan kelas harus ikut,” tandasnya.
“Bodo, orang ngga’ punya duit mau
gimana? Apa iya kita berangkat ngga’ bawa duit sama sekali?” balas saya.
“Yawda gini aja, sementar aku
bayar kalian 200 ribu dulu, itu pun uang pribadiku, gimana? Yang penting kalian
harus ikut perpisahan,” jelasnya.
“ Itu 200 ribu itungannya uang
juara favorit karna yang menang juga aku, hehe, jadi kamu masih ada tanggungan
ngasih kita-kita sejuta,gimana?” jelas saya.
“Lho kok bisa kalian lagi yang
menang favorite juga? Wah ini ada yang ngga’ beres ini,” balas Agus.
“Emang kita yang menang! Jangan protes,
protes ma juri, kalo soal juara favorit protes aja ma pengunjung,” jelas saya. Soal
juara favorit sebenarnya saya juga sedikit bersalah. Penilaiannya adalah dari vote pengunjung. Dan
saya banyak promosi ke orang-orang untuk memilih design saya. Sebuah konspirasi
kecil, walaupun tidak salah juga, orang-orang ikhlas saja milih punya saya.
Dan ternyata benar, pada pesta
penyerahan hadiah, saya pura-pura menerima amplop dan piala, amplop kosong
seperti kesepakatan sebelumnya. Padahal foto itu masuk Suara Merdeka, walaupun cuma
kolom kampus. Yang paling melegakan adalah saya bisa sedikit bernafas dengan
adanya sedikit pemasukan keuangan. Selebihnya saya tetap menanggung rasa malu
karena saya sendiri tidak merasa pantas dimenangkan. Apalagi kalau design saya
diketahui anak-anak pers saya sendiri, mereka akan langsung menilai karya saya
tidak pantas menang. Kebetulan yang saya sengaja memilih penggunaan foto dan
bukan design murni, sedangkan teknik fotografi saya minim. Pasti akan dikritik
habis-habisan oleh fotografer LPM saya sendiri.
Saya berusaha menepis rasa
paranoid yang melanda. Biarlah saya dikecam LPM dan dianggap MAC’09 tidak
bermutu karena karya minim sayalah yang menang. saya berusaha cuek, toh saya
benar-benar butuh uang. Saya dapat uang, dan itu cukup! Pikir saya kala itu.
Ini design yang dulu menang.
Foto tersebut sudah mengalami
sedikit pengeditan. Iklan tempat spa ceritanya. Teman saya sendiri yang jadi modelnya, kita sudah sepakat
kalau nanti menang hadiahnya akan kita bagi dua. Kamera yang saya gunakan
pinjam dari LPM saya sendiri. Berbekal teknik minim dan foto dengan ke dua
tangan saya sendiri. Maklum saya lebih mahir memainkan tape recorder ketimbang
mengutak-atik kamera DSLR. Foto tersebut diambil di loteng tempat kos teman
saya. Di sana ada tembok putih yang sedikit bercak tapi bisa diperhalus melalui
edit komputer. Kain putih yang dipakai teman saya sebenarnya adalah mukena. Kami
tidak punya peralatan sama sekali jadi kami maksimalkan benda-benda yang ada.
Benar-benar keanehan yang akan
saya ingat seumur hidup, hahahaha. Sebenarnya saya punya dokumentasi foto-foto
ketika penjurian berlangsung dan rangkaian acara MAC’09 berlangsung 3 hari.
Tapi gara-gara adik saya bermain partisi semua data saya hilang!
Additional info MAC’09 mengangkat tema “White Generation of Advertising”
adalah serangkaian acara dari Marketing and Advertising Contest tahun 2009. Acara
tersebut rutin tahunan, isinya diantaranya lomba design iklan, seminar,
pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan marketing atau periklanan dan pameran
iklan dari lomba itu sendiri. Acara digelar 3 hari, dan puncak acara adalah
hari ke tiga dimana dalam acara tersebut akan diumumkan pula pemenang lomba design
iklan, dihadiri oleh dosen-dosen, seluruh peserta seminar, seluruh peserta
lomba dan seluruh mahasiswa marketing AN.
Pukul 7 malam seluruh rangkaian
acara selesai. Kami pun membersihkan sisa-sisa pameran dan sampah-sampah yang
berserakan. Setelah beres, seluruh panitia berkumpul di aula kantin Tata Niaga,
disana digelar meja dengan panjang 5 meter dengan kursi mengitarinya. Seluruh panitia
duduk melingkar bersama Bu Aya dosen sebagai pembimbing acara. Bisa dikatakan
rapat ringan malam itu adalah pembubaran. Evaluasi kinerja panita, kekurangan
dan kelebihan.
Di akhir-akhir rapat, semua orang
menyudutkan saya. Dari semua kesalahan panita, sayalah yang paling disorot. Salah
seorang rekan saya menyalahkan saya dengan nada tinggi, awalnya saya biasa
saja, tapi rupa-rupanya dia semakin menjadi-jadi, keluarlah suara ketus saya. Dalam
keadaan memanas bu Aya mendekat ke saya berusaha menenangkan. Beliau memegangi
tangan saya, tiba-tiba cengkramannya berubah kuat. Bu Aya berteriak “Gus, Lang
cepet ini saya pengangi....bopong dia..!” teman-teman bergerak cepat membopong
saya ke tengah lapangan. Saya meronta minta perlindungan, tapi cengkraman
mereka terlalu kuat. Sampai di tengah lapangan, telur, tepung, air bercampur
menghantam tubuh saya. “Udah..tolong..jangan...kasiani aku....aku masih harus
pulang ke Babadan...naek motor...please,...udah...udah...” rengek saya. Tapi teman-teman
seakan tidak peduli bahwa saya masih harus pulang malam dengan motor ke
Babadan. “Selamat Ulang Tahun.....” satu per satu mereka mengucapkan saya ulang
tahun. Oohh rupanya kejutan ultah, hahahaha.
“Wah enak ya Re, ulang tahun
dapet surprise, menang lomba juara 1 ma favorit lagi,ck..ck...” kata salah
seorang teman saya. Hahahaha, ulang tahun saya kala itu memang ulang tahun
paling spesial seumur hidup saya apalagi sehari setelahnya saya masih mendapat
kejutan dari anak-anak LPM, bolehlah sedikit saya cerita.
Siangnya seperti biasa saya ke
posko LPM saya, tanpa merasa aneh dan ada sesuatu yang akan terjadi. Ternyata di
sana saya kembali mendapat cengkeraman tangan yang amat kuat dari adik-adik
tingkat saya. Kali ini lebih parah, kalau malam harinya saya dianiaya di depan
panitia MAC’09 saja, sekarang saya dieret untuk diikat di tengah lapangan di
depan kantin teknik, persis. Dalam keadaan tidak berdaya saya diguyur air
lumpur dengan cacahan rumput di dalamnya. Apa tidak malu, coba bayangkan, saya
di tonton semua mahasiswa teknik yang kala itu sedang akan di kantin. Saya merasa
seperti tontonan segar pula gratis, basah kuyup layaknya tikus tercebur got. Adik-adik
tingakat yang perempuan tidak berani
melepas ikatan saya karena dilarang sama yang laki-laki. Hampir 30 menit saya
dipermainkan baru kemudian boleh dilepas. Huft...gila...gilaa...! ini paling
gila!
Begitulah konspirasi-konspirasi
kecil dalam hidup saya.
Comments
Post a Comment