Skip to main content

After 8 am



(wajah kehidupan di sebuah ruangan)

(Penetralisir lomba artikel, movie & puisi oleh sebuah lembaga dengan tema “after 4 am” yang hanya boleh diikuti oleh kalangan mahaasiswa!) 

Suasana masih sepi. Yang terlihat hanya 2 orang penjaga, seorang pengunjung  dan buku-buku berderet di rak, sunyi. Seorang pemuda gagah masuk kemudian duduk di area baca setelah menaruh tas jinjingnya di penitipan barang. Mata pemuda tersebut menatap was-was area sekeliling. Dandanannya rapi seperti hendak ke kantor. Kemeja garis cokelat masuk rapi ke celana kain kantor yang dibalut rapi belt hitam. Sepatunya kinclong terlihat sudah di sikat bersih. Diambilnya koran di meja baca, dibukanya kolom lowongan dan larut melompat dari satu kata ke kata lain sembari sesekali menatap lagi sekeliling, was-was bila ada orang yang memperhatikannya.

Selang 5 menit, datanglah seorang pria dengan kisaran umur 60 tahun. Penampilannya rapi dengan kaos yang dimasukkan kedalam celana dan balutan belt cokelat. Sebuah topi menutup uban putihnya. Sebuah jam tangan emas membalut lengan kiri dan sebuah cincin besar melingkar di jari manis dan tengah. Tanpa memperhatikan sekeliling pria itu langsung duduk dan membaca koran. Dibukanya kolom indeks ekonomi, kurs dollar, kurs emas bolak-balik. Sebuah lup/kaca pembesar ia gunakan untuk mempermudah peraduan antara mata dan font koran yang tergolong kecil. 

Selang 15 menit, tempat itu mulai ramai dipadati pengunjung. 

Seorang Ibu dengan anaknya yang masih berseragamkan TK. Ibu tersebut sibuk menenangkan anaknya yang berlari ke sana kemari. Di hasutnya si anak untuk masuk ke ruang baca anak tepat di sebelah kanan rak-rak buku. Melihat anaknya mulai tenang dengan buku dongeng full color warna warni si ibu pun bergerak menuju ke rak buku ketrampilan. Diambilnya buku ‘Budidaya tanaman hias’, membolak balik beberapa halaman kemudian melipatnya ke ketiak. Diambilnya lagi buku ‘aneka resep masakan nusantara’ kembali dibolak-balik secara cepat dari halaman awal, akhir kemudian ketengah. Sebuah senyum tergurat di wajahnya, dia menemukan apa yang dia cari.

Di sebelah utara di ruang tempat kamus-kamus dan buku-buku besar bernaung, seorang pemuda tengah sibuk membolak-balik deretan buku ensiklopedi. Rambutnya acak-acakan, sedikit gondrong tak terurus. Kaos oblong dengan jeans dan sendal jepit bertanda betapa dia tidak peduli dengan orang sekitar bahkan tidak juga untuk mengurus dirinya sendiri. Entah tidak peduli atau tidak punya waktu. Gerak tangannya lebih cepat dari orang sekitar. Nafasnya diburu waktu. Ada target yang harus dia selesaikan. Begitu menemukan buku yang dikehendaki, dia beralih ke area baca. Duduk dengan tergesa, membuka beberapa halaman yang sudah dia tandai kemudian mengutipnya ke dalam sebuah kertas yang sudah dia siapkan. Gerakannya berulang, membuka halaman tertentu dan kembali menulis. Sesekali mengusap gatal dihidung dengan lengan atau menyibak poni rambut yang sudah mulai mengganggu.

Tepat di meja seberang seorang pria paruh baya tengah sibuk menggunakan fasilitas wifi gratis dengan laptopnya. Sebuah headphone melekat di kepala, mengubur suara atau gerak orang sekitar yang kemungkinan bisa mengaburkan tingkat kefocusnya. Penampilannya santai, kaos oblong dengan celana jeans selutut. Prawakannya tinggi besar dengan kumis tipis yg membuatnya nampak elegan. Dia sibuk beralih dari satu window ke window yang lain. Ada sekitar 5 window yang dia buka. Email, 1 buah social media, salah satu media berita online dan sebuah program toko online dan fasilitas e-banking dari salah satu bank ternama. 

3 meter di depannya, seorang pemuda kece belasan tahun celingukan. Membuka laptop tapi masih kebingungan. Beranjaklah dia ke si penjaga “ Bu, maaf no pin wifi sini berapa ya?” tanyanya. Setelah mendapat pin, si pemuda kembali menekuni laptopnya. Membuka semua aplikasi media sosial yang dia punya dan chatting dengan teman-teman mayanya. Sesekali tawa tanpa suara tergurit di wajahnya.

Seorang wanita 20an berjilbab duduk sendiri di pokok area baca, seperti sedang menunggu. Selang beberapa menit kemudian seorang pria menghampiri dan duduk rapat di sebelah si wanita. Mereka asyik bercengkerama dalam suara rendah. Sesekali si pria memegangi tangan si wanita. Si wanita malu-malu tanpa penolakan. 5 menit kemudian mereka meninggalkan area dan pergi ke luar bersama. 

Seorang pria paruh baya dengan dandanan ala kadarnya sibuk celingukan memperhatikan sekitar.  Ditariknya kursi di area baca. Bingung tidak tahu harus apa, diambilnya koran di meja, membuka, memperhatikan sekitar, membuka lagi menengok kanan dan kiri. Akhirnya perhatian pria tersebut tersita oleh kolom lowongan. 

Semakin siang pengunjung mulai berdatangan silih berganti. Meminjam buku, mengembalikan, membaca atau sekedar bermain internet. Kedua penjaga yang satu jam lalu sepi kegiatan kini mulai merasakan padatnya aktivitas. Melayani pengunjung sehari-harinya yang tak jauh berbeda. Bisa berimanjinasi sendiri mereka semua itu siapa?!

Comments

Popular posts from this blog

Sentilan Kumpulan Puisi Ublik Karya Ono Sembunglango

Puisi bukan hanya soal keindahan tata bahasa dan olah kata. Puisi mempunyai pencipta yang olehnya terdapat kedalaman rasa. Ini bukan soal data, tapi karya yang dilahirkan dari perpaduan antara kepekaan, perasaan mendalam dan kemampuan untuk menafsirkannya.  Setiap sastrawan melahirkan keresahan yang menyelubungi pikiran dan tubuhnya, sebagaimana Ono Sembunglango ketika melahirkan “Ublik” -yang merupakan kumpulan buku puisi pertamanya.  Meski bukan lahir dari daun lontar dan kertas Sinar Dunia, Ublik yang dikumpulkan melalui catatan media digital ini tetap menjadi sebuah catatan keresahan yang mewakili suatu masa. Pak Ono, mungkin begitu saja saya memanggilnya. Seorang yang saya temui dalam event blogger 2 Oktober 2024 lalu. Saya -yang bukan siapa-siapa dan baru dalam dunia blogger ini- tidak begitu banyak mengenal orang, dan saya tidak akan mengenal beliau andai kata teman sebelah saya tak menyebut kata Sutardji Calsoum Bahcri, sang maestro puisi mbeling. Ia bilang Sutardji ...

Mengendus Buku Jurnalisme di Luar Algoritma

Ada yang berubah dari wajah jurnalisme kita. Masyarakat di era ini membutuhkan kecepatan, berita harus diramu secara cepat kalau tidak mau ketinggalan. Tak dipungkiri wartawan kalah adu cepat dengan warga yang berada di tempat.  Soal kode etik mungkin mereka tak paham tapi kecepatan tentu tak diragukan. Siapa peduli dengan kode etik di jaman ini? Publik lebih menikmati video kejadian yang diambil para amatir dengan dalih originalitas. Soal akurasi tentu media juara, tapi kecepatan bisa jadi sebaliknya.  Sebenarnya hal seperti ini sudah bisa terendus dari belasan tahun lalu, saat di mana kemampuan handphone semakin di upgrade dan internet semakin dekat dengan masyarakat. Jurnalisme warga kala itu disambut sukacita sebelum pada akhirnya membuat tatanan dunia digital semakin chaos . Roma perubahan ini tentunya terendus media sedari lama, namun beda hal soal tanggapan. Ada yang bergerak cepat dan berupaya menyesuaikan diri tapi ada juga yang perlu lebih dulu mengkaji. Di luar cep...

Merayakan Ulang Tahun dengan Glamping di Puncak Bogor

  Laki-laki memang sulit ditebak. Dari sekian banyak tawaran hadiah ulang tahun yang saya tawarkan, suami justru memilih camping. Masalahnya, kami berdua bagai langit dan bumi, kutub utara dan selatan. Berbeda dalam segala hal termasuk memilih tempat liburan. Suami cenderung memilih tempat-tempat tenang, tidak banyak orang, dingin dan bisa beristirahat seperti camping dan hiking sementara saya lebih suka ramainya pasar, konser musik, serta wisata-wisata kota. Tapi karena ini soal hari jadi suami maka saya harus banyak-banyak mengalah. Yah bolehlah camping asal jangan dulu hiking . Sebenarnya sudah lama juga saya ingin menemaninya hiking tapi memang kondisi belum cukup baik dan saya belum berdamai dengan udara dingin. Kipasan satu jam saja saya tidak kuat apalagi menahan dinginnya gunung?! Lalu kami pun melakukan deal-dealan dan sampailah ke kata glamping. Istilah glamping belakangan cukup populer, bukan? Camping tapi glamor. Kalau camping kita masih harus repot-repot membawa...