Skip to main content

“Kita”, cukup!


Untukmu yang selalu ada melindungi, dan membagi waktu denganku, lalu aku menyebutmu Dewa
Kata setelahnya adalah bonus untuk kau tambahkan sendiri, pelindung, hati , cinta atau mungkin kehidupan, bebas semaumu! 
Adakah hal yang lebih menawan melebihi kebersamaan kita? Adakah kisah yang lebih klasik yang melebihi cara kita membunuh waktu bersama? Duka dan tawa kita adalah tak sekedar sedang membagi cinta. Cinta itu kita urai, dan kita terbangkan bersama angin utara. Cinta itu kita tampar, sekeras tamparan ombak kepada bibir pantai. Kita mengukir cinta itu sendiri, diluar konteks yang selama ini dibangun para pujangga.  
Kita mangkir dari kisah Romeo dan Juliet, Laila Majnun bahkan Ainun Habibie.  Hmmm ,,, betapa sempurnanya kisah mereka, tapi kita memilih membelakanginya.  Dan kau yang mengajarkanku berkhianat terhadap hakikat cinta yang ada. Melalui setiap kata yang terpancar dari kedua matamu, kau percayakan aku akan istana cinta kita yang lain. Yang kau sebut “Kita” cukup. Kau tak ingin aku percaya pada kisah-kisah dongeng dunia, karna bagimu cinta itu lebih keras dari itu semua. 
katamu aku tak perlu terlena dengan cinta, karna kau bisa memberikan gantinya.  Katamu roman picisan itu fana dan cintamulah yang nyata. Biarpun aku sering menyangkal, tapi aku memilih diam dan merenungi setiap ucapmu.  Selama kau masih meminta keberadaanku, cukuplah untukku.  
Kucukupkan hatiku dengan membantumu mencintai anak-anak yatim itu, yang entah siapa gerangan yang membuat mereka hadir di dunia ini, kucukupkan cintaku dengan setia mengantamu menyebar separuh gajimu kepada setiap insan lemah ditepi jalan diseluruh penjuru kota.  Kucukupkan inginku untuk memilikimu lebih lagi karena aku melihat dunia begitu mencintaimu. Dan akupun bisa berkata cukup. Cukup melihatmu bercengkerama dengan dunia. Cukuplah kau mencintaiku dengan caramu. 
Dan aku ingat saat aku bertanya apa kau mencintaiku, untuk keseribu kalinya kau jawab “TIDAK”. Huft,,Kebohongan yang indah!
Lalu kutanya “Berapa besar kau mencintaiku?”,
Kau jawab “Aku tak ingin mencintaimu seperti Habibie mencintai Ainun, karena aku tak bisa membuat pesawat untukmu, aku tak mencintaimu seperti Romeo yang rela mati untuk Juliet karna aku ingin hidup untukmu, aku tak ingin mencintaimu seperti Majnun yang menggilai Laila karena aku tak segila itu”.
“Hmmm...lalu seperti apa kau mencintaiku?” tanyaku kemudian.
Kau jawab “ Bila aku menjadi JK Rowling dan sanggup memutar cerita dan menjadikan Harry jatuh hati kepada Hermonie, atau Stephenie Meyer mengubah Cinta Bela menjadi milik Jacob, mungkin bila aku sanggup melakukannya, akupun sanggup merubah jalan cerita hidup kita”. 
Mungkin benar kata “tidak” itu.  Kau tidak mencintaiku seperti imajinku, kau mencintaiku seperti kau mencintai dunia, kau cintai mereka semua, kau cintai kehidupan.  Tapi aku tak sanggup pergi darimu, seperti Shruti Gosh yang tak sanggup meninggalkan Barfi.  Karena kau menjadikannya cukup, cukup untuk ku mendapat segalanya, hingga aku tak iri lagi dengan pasangan yang disatukan para peri cinta.  Entah apa ini, entah cinta model apa yang tengah kita jalani.  Tapi, sekalipun seribu kali kau inginkan aku pergi, aku merasa kau sendiri mencukupi hatiku dengan semua yang kau miliki. Bagaimana aku bisa pergi? Bagaimana aku menuai keindahan cinta yang lain bila dihadapanku ada keindahan-Nya yang tak ternilai.   Aku & kamu cukup, kita cukup.

Comments

Popular posts from this blog

Sentilan Kumpulan Puisi Ublik Karya Ono Sembunglango

Puisi bukan hanya soal keindahan tata bahasa dan olah kata. Puisi mempunyai pencipta yang olehnya terdapat kedalaman rasa. Ini bukan soal data, tapi karya yang dilahirkan dari perpaduan antara kepekaan, perasaan mendalam dan kemampuan untuk menafsirkannya.  Setiap sastrawan melahirkan keresahan yang menyelubungi pikiran dan tubuhnya, sebagaimana Ono Sembunglango ketika melahirkan “Ublik” -yang merupakan kumpulan buku puisi pertamanya.  Meski bukan lahir dari daun lontar dan kertas Sinar Dunia, Ublik yang dikumpulkan melalui catatan media digital ini tetap menjadi sebuah catatan keresahan yang mewakili suatu masa. Pak Ono, mungkin begitu saja saya memanggilnya. Seorang yang saya temui dalam event blogger 2 Oktober 2024 lalu. Saya -yang bukan siapa-siapa dan baru dalam dunia blogger ini- tidak begitu banyak mengenal orang, dan saya tidak akan mengenal beliau andai kata teman sebelah saya tak menyebut kata Sutardji Calsoum Bahcri, sang maestro puisi mbeling. Ia bilang Sutardji ...

Mengendus Buku Jurnalisme di Luar Algoritma

Ada yang berubah dari wajah jurnalisme kita. Masyarakat di era ini membutuhkan kecepatan, berita harus diramu secara cepat kalau tidak mau ketinggalan. Tak dipungkiri wartawan kalah adu cepat dengan warga yang berada di tempat.  Soal kode etik mungkin mereka tak paham tapi kecepatan tentu tak diragukan. Siapa peduli dengan kode etik di jaman ini? Publik lebih menikmati video kejadian yang diambil para amatir dengan dalih originalitas. Soal akurasi tentu media juara, tapi kecepatan bisa jadi sebaliknya.  Sebenarnya hal seperti ini sudah bisa terendus dari belasan tahun lalu, saat di mana kemampuan handphone semakin di upgrade dan internet semakin dekat dengan masyarakat. Jurnalisme warga kala itu disambut sukacita sebelum pada akhirnya membuat tatanan dunia digital semakin chaos . Roma perubahan ini tentunya terendus media sedari lama, namun beda hal soal tanggapan. Ada yang bergerak cepat dan berupaya menyesuaikan diri tapi ada juga yang perlu lebih dulu mengkaji. Di luar cep...

Merayakan Ulang Tahun dengan Glamping di Puncak Bogor

  Laki-laki memang sulit ditebak. Dari sekian banyak tawaran hadiah ulang tahun yang saya tawarkan, suami justru memilih camping. Masalahnya, kami berdua bagai langit dan bumi, kutub utara dan selatan. Berbeda dalam segala hal termasuk memilih tempat liburan. Suami cenderung memilih tempat-tempat tenang, tidak banyak orang, dingin dan bisa beristirahat seperti camping dan hiking sementara saya lebih suka ramainya pasar, konser musik, serta wisata-wisata kota. Tapi karena ini soal hari jadi suami maka saya harus banyak-banyak mengalah. Yah bolehlah camping asal jangan dulu hiking . Sebenarnya sudah lama juga saya ingin menemaninya hiking tapi memang kondisi belum cukup baik dan saya belum berdamai dengan udara dingin. Kipasan satu jam saja saya tidak kuat apalagi menahan dinginnya gunung?! Lalu kami pun melakukan deal-dealan dan sampailah ke kata glamping. Istilah glamping belakangan cukup populer, bukan? Camping tapi glamor. Kalau camping kita masih harus repot-repot membawa...